Langsung ke konten utama

Oktober Fantastis (serial) - eps 8 - Kuala Lumpur Sore Itu

25 Oktober 2012



Sore hari kami telah kembali ke Kuala Lumpur. Kami memutuskan untuk mencari tahu letak masjid terdekat dari penginapan kami untuk mengikuti sholat Idul Adha esok pagi. Kami bertanya kepada seorang ibu penjaja kue di dekat Rybbon Stayyz.

“Permisi, kami berencana ikut sholat Idul Adha esok hari. Boleh tahu di mana masjid terdekat dari sini?”

“Mungkin kamu ke bisa ke Masjid Jamek”.

“Di mana itu tempatnya?”

“Kamu tahu restoran cepat saji di seberang jalan besar sana? Ikuti jalan di sebelah tempat makan itu. Lurus saja”.

“Terima kasih”

“Eh, ngomong-ngomong kalian dari mana?”

“Kami dari Indonesia”

“Wah, Indonesia. Sedang liburan rupanya?”

Akhirnya... aku menemukan orang Melayu yang ramah! Kami pun terlibat sedikit perbincangan sebelum kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.

Masjid Jamek dikenal juga sebagai Masjid Kampung India. Arsitektur bangunannya pun kental dengan aksen India. Bangunan utama masjid memiliki tiga kubah dengan dua balai-balai di sayap kanan dan kirinya yang masing-masing sisi dilengkapi menara tinggi. Meski terlihat sudah ‘berumur’, tapi bangunan ini terpelihara secara baik. Bahkan menambahkan kesan religius yang mendalam.

Masjid Jamek ini juga merupakan ‘objek wisata’ loh. Siapa aja boleh datang berkunjung. Sesekali memang turis tidak diperkenankan masuk oleh penjaga di pintu gerbang bila memang di dalam sedang ada kegiatan peribadatan. Apalagi kalau kamu pake hot pants! Tapi kamu bisa menyewa kain penutup biar aurat kamu nggak ke mana-mana. Bagaimanapun juga ini kan tempat ibadah.

Sore hingga senja hari itu kami habiskan dengan mengunjungi spot-spot menarik di sepanjang jalan yang kami lalui. Begitu meninggalkan Masjid Jamek, kami disuguhi pemandangan deretan bangunan tua yang dialihfungsikan sebagai perkantoran pemerintahan yang menjadikan gedung-gedung lawas itu terlihat lebih terpelihara, kokoh berdiri di antara gedung-gedung tinggi modernisasi. Termasuk gedung megah yang menjadi pusat perhatian di sepanjang Jalan Raja. Berjuluk Sultan Abdul Samad, bangunan itu layaknya sebuah istana yang dibangun dengan leburan gaya arsitektur Eropa, India dan Melayu. Di seberangnya, sebuah hamparan rumput hijau bagai bentangan karpet mengisi ruang terbuka. Dataran Merdeka, suatu ruang publik yang memberikan kesejukan di tengah hiruk pikuk suasana perkotaan. Tak heran bila banyak warga masyarakat dan wisatawan yang begitu menikmati waktu kebersamaan di tempat ini. Taman kecil yang asri dengan air mancur di satu sisi, dengan tiang bendera yang mengacung  tinggi ke angkasa di sisi lainnya dan jajaran rumah limas di garis panjang lapangan, benar-benar cocok buat tempat ngabuburit. 

“Arrggghhhh...Bruk!”, tak mau menyiakan waktu sebagaimana yang lain, kami pun menjatuhkan diri dan bergulingan di rerumputan itu tanpa memperhatikan tayangan pertandingan sepak bola yang disiarkan melalui layar raksasa permanen di sudut lapangan itu.

“It feels relaxing to be here”.

***

Menjelang maghrib kami bergegas menuju masjid terdekat. Masjid Negara Kuala Lumpur, semacam Masjid Istiqlal kalau di Jakarta. Meskipun tak semasif masjid Istiqlal, masjid ini memiliki ukuran yang cukup besar. Kubahnya begitu unik. Layaknya sebuah payung raksasa yang tak terbuka sempurna sehingga membentuk lipatan-lipatan yang menaungi ruang utama peribadatan. Sebuah menara melengkapi kemegahannya. Aku tak begitu paham mengenai gaya arsitektur bangunannya. Tapi ada banyak detail dalam setiap ornamen yang menghiasinya. Tak heran bila bangunan tersebut dinobatkan sebagai Masjid Nasional.

Sembari menunggu adzan Maghrib kami berkeliling di sekitar lingkungan masjid. Menjajal wahana olahraga ringan di taman depan sampai naik kuda-kudaan di play ground belakang. Kami juga menyapa tiga ekor sapi yang duduk termenung di sudut taman belakang masjid. Setelah kami menghampirinya dan mengajaknya ngobrol, rupanya mereka galau tingkat nasional karena besok adalah hari di mana mereka akan disembelih. Kami tak bisa berbuat banyak selain berusaha menghiburnya dengan menjadi pendengar setia akan curahan kerisauan hatinya. Poor cows! :’( #delusionalakut

Langit kelabu petang itu turut bersimpati pada si sapi. Titik-titik uap air tak mampu dibendungnya lagi begitu angin menghembuskannya ke bumi. Langit menangis saat adzan Maghrib berkumandang, kami pun berlari kecil menghambur masuk ke dalam masjid. Aku tahu sapi pasti sedih karena kami tinggal pergi, tapi kami juga tidak mungkin mengajak mereka berteduh di dalam bukan? Semoga air yang tercurah dari langit membasuh kegalauan di hati sapi. Amin.

Hujan telah menahanku dan Fahmi di Masjid Negara Kuala Lumpur selama kurang lebih satu jam. Selesai sholat Maghrib berjamaah, kami hanya bisa duduk-duduk di salah satu sisi anak tangga sambil berharap hujan segera mereda. Kami mati gaya! Perjalanan pun terhenti sementara.

Krrtt...Krrrtttt...

Bukan, itu bukan bunyi ponsel yang bergetar. Itu suara musik orkes! Iya, cacing-cacing di perut udah pada protes minta dikasih makan. Bukannya ngadain demo anarkis, mereka lebih memilih aksi cinta damai dengan menggelar orkesan. Lebih merakyat katanya.

Nih, gue ada permen karet. Lumayan buat buka puasa”, Fahmi membagi permen karetnya. Memang sejak maghrib tadi kami belum sempat membatalkan puasa. Hari ini puasa terakhir sebelum besok menyambut Hari Raya Qurban.

Thanks, em”, tanpa ba-bi-bu aku segera mengunyah permen karet itu.

Permen karet ini harus habis sebelum kita jalan ke Singapura. Gue nggak mau ada masalah di imigrasi sana karena bawa-bawa permen karet kayak yang gue baca di internet. Jadi lo harus bantuin gue habisin ini permen karet”, tukas Fahmi kemudian.

Hah? Okesip!”, sahutku tanpa ingin memperpanjang diskusi. Darr! Balon permen karet yang ku tiup meletus. Kembali aku mengunyahnya lagi.

Bubar jamaah sholat Isya’ kami memutuskan untuk meninggalkan masjid di tengah gerimis kecil. Sudah jam delapan malam. Sayang bila waktu terbuang untuk menunggu redanya hujan lebih lama lagi. Supaya terlindung dari hujan, kami pun berjalan menyusuri koridor panjang jembatan penyeberangan yang menghubungkan stasiun LRT Masjid Negara dengan stasiun LRT Pasar Seni. Kalau di Jakarta, mungkin ini jembatan penyeberangan terpanjang yang menghubungkan shelter busway Bendungan Hilir dan Semanggi.

Perasaan dari tadi dibandingin sama Jakarta? Biar pembaca bisa dapat gambarannya gitu, bray. Tapi kalau nggak bisa digambar juga, disablon boleh deh :|

Udahnya pas sampai Pasar Seni, kami langsung kalap! Kami memutuskan untuk makan malam di restoran India Kasturi Walk, lalu jalan ke bazar Petaling beli Air Mata Kucing sama Chestnut yang harga per kilonya naudzubillah! Tenang, kami nggak sampai beli satu kilogram kacang yang suka dibawa-bawa tupai di film Ice Age itu kok. Kami juga nggak sampai bawa pulang kucing yang galaunya udah tingkat Asia Pacific sampai nangis berkepanjangan dan menghasilkan air mata tersebut. (?)

*** 


PS: serial #OktoberFantastisnya sampai episode 8 dulu ya... ceritanya libur lebaran. takut nggak sempet posting karena bakal sibuk bikin nastar sama ngumpulin salam tempel buat tambah-tambah uang jalan-jalan. hehe sampai jumpa di episode selanjutnya...


anyway, Selamat Lebaran Mohon Maaf Lahir Batin :D

Komentar

  1. wah keren bisa menikmati lebaran haji di negara orang. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. whoaaa ini serius mas Chan yang komen?

      Alhamdulillah mas, bisa tetep ibadah sambil jalan-jalan hehe

      terima kasih mas sudah mampir :D

      Hapus
  2. enaknya bisa merasakan sholat di masjid jamek, saya sendiri cuman foto2 doang pas kesana :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada mas catatan Ruslan juga...

      alhamdulillah mas, mungkin nanti pas mas Ruslan ke KL lagi bisa mampir sholat :)

      terima kasih sudah mampir...

      Hapus
  3. wih, berlebaran haji di mesjid jamek
    keren bro...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, salam kenal...

      Iya, Alhamdulillah... pengalaman baru lebaran haji di negeri orang hehe

      terima kasih sudah mampir :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain