Langsung ke konten utama

Family Trip goes to Pacitan: Goa Gong

Daerah Pacitan merupakan dataran yang dikelilingi oleh rangkaian pegunungan kapur. Perjalanan menuju Pacitan pun diwarnai pemandangan bebatuan alam di kanan kiri jalan. Akses menuju Pacitan via Ponorogo akan terasa menarik karena jalanan yang berkelok dengan tanjakan dan turunan seakan tiada habisnya mengiringi roda kendaraan menyusuri sungai berbebatuan granit besar berserakan yang berada di antara gunung-gunung.

Pacitan berjuluk Kota 1001 Goa. "Di Pacitan ini sebenarnya banyak sekali goa-goa yang indah. Hanya beberapa goa yang berhasil dibuka untuk umum sebagai objek wisata. Sementara Goa yang lain masih 'tersembunyi' karena medannya cukup sulit dijangkau", tutur Tante Sri menerangkan.



Pagi itu perjalanan dimulai dengan starting point dari rumah Tante Sri. Setelah berdiskusi dengan Om Joko (suami Tante Sri), akhirnya kami mengambil rute perjalanan menuju Goa Gong melalui desa Dadapan yang akses jalannya lebih landai meskipun jarak dan waktu tempuhnya lebih jauh bila dibandingkan melalui jalanan desa Sedeng yang memiliki sudut kemiringan jalan dan tikungan yang cukup ekstrim.
Saran: berangkat lewat Dadapan, pulang lewat Sedeng. Tapi kalau belum terbiasa dengan turunan dan tikungan tajam hindari Sedeng.

Goa Gong sendiri terletak di desa Bomo, Kecamatan Punung, Pacitan. Berjarak sekitar 30 km dari pusat kota Pacitan, perjalanan dapat ditempuh selama kurang lebih satu jam perjalanan. And here we are...



Setelah melewati tanjakan, mobil memasuki pelataran yang tak begitu luas yang menjadi tempat parkir kendaraan wisatawan Goa Gong. Di salah satu sudutnya dibangun pos kecil sebagai loket pembelian tiket masuk Goa Gong seharga Rp5.000,00/orang. Tepat di sebelah kiri pos tersebut terdapat anak tangga menuju ke lokasi goa. Goanya sendiri memang berada di lereng bukit kapur. So, let's climb the hill!


papan informasi Goa Gong di dekat loket



Mencapai anak tangga ke sekian, terdapat papan penunjuk arah bertuliskan Pasar Batu Akik yang menuju ke kanan. Rupanya memang terkenal dengan batu akiknya. Mungkin Tessy pelawak itu belinya di sini #yakali


suasana balai-balai pasar batu akik


Selepas menjajaki 84 anak tangga (melangkah sambil berhitung) kita akan memasuki kawasan layaknya pasar di mana kanan kiri dipenuhi kios-kios pedagang makanan, minuman, juga cenderamata khas Pacitan. Sampai jalan setapak itu akhirnya berujung pada dua patung Retjo Pentung (arca penjaga) yang menandakan bahwa kita telah sampai di mulut goa. Dari titik inilah Anda akan dikerubungi para penjaja booklet Goa Gong seharga Rp5.000,00 juga jasa penyewaan senter Rp3.000,00 serta beberapa orang yang menawarkan diri sebagai pemandu wisata. Sebenarnya di dalam goa sendiri sudah dipasang instalasi penerangan. Hanya saja ruang goa yang begitu besar seperti tak pernah cukup untuk mendapat penerangan dari lampu-lampu yang dipasang.



gelang etnik ada yang 10.000/2 ada juga yang satunya 45.000
 
emak-emak pada bisa nawar 10.000/3

Sale Pisang dibungkus daun pisang! 5.000/bundel

kaos berkisar 40.000-50.000






Awalnya kami menolak semua penawaran jasa itu. Sampai akhirnya setelah memasuki pintu goa dan semakin ke dalam keadaan semakin terasa minim penerangan, akhirnya kami menyewa tiga senter yang ditawarkan oleh seorang perempuan yang tak patah arang mengejar kami sampai masuk ke dalam goa. Berikutnya karena mata yang masih menyesuaikan perubahan intensitas cahaya, kami berjalan seakan meraba dalam kegelapan. Daripada hilang arah dan terus meraba, akhirnya seorang pria, sebut saja Mr. He -bukan nama sebenarnya, yang berdiri di antara stalaktit dan stalakmit tak jauh dari mulut goa bersedia menjadi tour guide kami. Caving time!


Mulut Goa



Gelap dan lembab. Meski tertatih, kami menyusuri goa berderet memanjang ke belakang dengan menapaki jalanan yang memang sudah dibangun untuk mempermudah akses menikmati keindahan goa. Berhati-hatilah dalam melangkah karena lantainya cukup licin. Terlebih panorama indah dalam goa bisa jadi membuyarkan konsentrasi Anda dalam melangkah. Untuk itu berpeganglah pada besi di sepanjang jalan setapak itu.

Dengan telaten Mr. He menerangkan ini itu terkait goa ini. Saya kurang begitu memperhatikan karena sudah sangat takjub dengan maha karya yang sedang saya lihat mengisi ruang gelap ini. Stalaktit dan stalakmit yang 'tumbuh' dalam beragam motif dan bentuk akan membuat setiap orang yang melihatnya berdecak kagum. Beberapa di antaranya berkilatan, basah karena rembesan air yang terus mengalir. Lembab... tapi kami berkeringat, karena medan yang dilalui cukup menguras tenaga. Kedalaman goa yang semakin menurun tentunya menjadikan kami harus menuruni anak tangga yang di titik tertentu begitu licin dan curam. Tetap berpeganglah pada besi. Beruntung telah dipasang blower di sudut-sudut ruang sehingga kami bisa merasakan sejuknya udara yang dihembuskan.





Mr. He said,"this is the best-est (stalaktit) in here"

in my imagination: seperti sekawanan kera, para kurawa (?)

Goa Gong memiliki tujuh ruang. Antara ruang yang satu dan yang lainnya saya pun kurang tahu bagaimana membedakannya, tapi menurut saya pribadi ketika kita melewati celah yang sempit dan kembali menemukan ruang goa yang cukup besar maka itu tanda berganti ruang *sotoy -kemudian ditoyor. Sampai di ruang empat tetiba Mr. He mengusulkan untuk kami berfoto bersama. Dan dari situlah saya menyadari bahwa sebenarnya Mr. He ini profesinya adalah tukang foto. Beruntung dia menguasai medan dan mau memandu kami menyusuri goa. Jadi tahu ini itu, nggak kesasar, plus bonusnya dengan senang hati dia memfoto kami, baik dengan kamera kami ataupun kamera dia yang dijanjikan akan segara dicetakkan hasil jepretannya sesaata setelah kami keluar goa. Yeay!

bapak, ibu, me

Eden, Pak Zarkasi (Eden's Father)

family captured in room four

Entah di ruang berapa, Mr. He menunjukkan kami sendang/telaga kecil di dalam goa. Konon kabarnya, kalau mandi di situ segala penyakit akan hilang!


Di lain waktu Mr. He memberitahu kami tentang bebatuan dalam goa yang berkilauan seperti berlian karena rembesan air yang dulunya membasahi batu tersebut telah mengering. Amazing!




Terus, mana GONG-nya? Kenapa sejauh ini saya tidak melihat GONG? *dikeplak

Nama Goa Gong sendiri rupanya mengacu pada stalaktit yang menggantung panjang dan pipih, berada di ruang tujuh goa ini -ruang paling dalam berada di bawah, yang mana ketika kita memukulnya maka akan menimbulkan suara sebagaimana suara yang ditimbulkan ketika kita memukul gong. Subhanallah...




Kembali kami harus menapaki anak tangga untuk kembali naik menuju mulut goa. Keringat yang bercucuran tak ada bandingannya dengan panorama goa yang mempesona. Hanya kekaguman yang luar biasa...

Begitu keluar dari goa Mr. He berlari dan kemudian menghilang. Beberapa waktu setelahnya dia kembali membawa foto-foto hasil jepretan di dalam goa tadi. Satu buah jepret-cetak foto dipatok sebesar Rp20.000,00. Dia hanya mencetak dua, padahal yang kami ingat ada lah empat kali foto, akhirnya dia berlarian bolak-balik mencetakkan foto kami. Untuk bayaran memandu kami, saya kurang tahu bagaimana pembayarannya waktu itu. Setahu saya sih, Tante Sri tidak mengambil kembalian untuk pembayaran dua foto awal yang dia berikan.

hasil foto + cetak Mr. He


FYI, kalau mau ngeteng ke Goa Gong bisa loh, naik angkot Pacitan-Punung Rp10.000,00 (turun di pertigaan arah Goa Gong) oper angkot dari pertigaan naik ke goa Rp5.000,00. Happy traveling!

caving bermodal senter


P.S. Bagi yang ingin tahu lebih banyak tentang Goa Gong, beli saja booklet-nya seharga Rp5.000,00. Di dalamnya ada sejarah penemuan Goa Gong dan rangkuman objek wisata lain di Pacitan.

*temukan juga artikel ini di detikTravel

Komentar

  1. aq juga pernah kesana, ^^ murah berkualitas, xixixi

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, saya juga baca kok postingan Teleng Ria nya ka isna. hehe dekat ya ternyata Pacitan-Surakarta :)

      terima kasih sudah mampir

      Hapus
  2. sudah ngenal goa gong ini sejak lama, tapi blm pernah kesampaian utk ke sana

    btw, salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, cobalah kapan waktu disempatkan mampir ke Goa Gong dan objek wisata lain di Pacitan :)

      salam kenal, terima kasih sudah mampir

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain