Langsung ke konten utama

Book Review: Nomadic Heart

Nomadic Heart.
Melihat ilustrasi yang tergambar dari jejak kaki di pasir tepian pantai yang beriak, aku langsung berpikir: ini adalah cerita perjalanan hati.





Aku terprovokasi atas penampakan buku ini.


"Travel is the only thing you buy that makes you richer"

Perjalanan yang memperkaya hati. Buku ini memang menceritakan pengalaman-pengalaman penulis dalam berbagai situasi dan kondisi yang ditemuinya selama perjalanan. Sebagaimana yang penulis sebutkan pada kata pengantarnya bahwa '...traveling bukan melulu soal bertamasya atau piknik ke tempat indah'. Jadi, jangan heran bila membaca buku ini Anda tidak akan menemukan bahasan detail tentang destinasi tertentu. Tapi kita tetap akan bisa merasakan atmosfir kedamaian Chiang Mai, hiruk pikuk Bangkok, hingga musim dingin di Cina Daratan juga ketentraman lingkungan pedesaan kota Solo.

Banyak hal yang penulis bagi melalui karyanya ini. Dari mulai latar belakang yang mendorong seorang pejalan melakukan sebuah perjalanan, sampai kepada kejutan-kejutan yang ditemuinya di jalan. Ada banyak tawa bahagia, ada sedikit emosi yang tak terkendali, bahkan ada diamnya yang kelu hingga haru biru. Kekayaan rasa yang disampaikan dalam setiap babnya benar-benar membawa pembaca kepada sebuah perjalanan hati. Tak jarang aku tersenyum simpul, mengangguk setuju, saat membaca ceritanya.

Aku begitu terlarut pada sebuah cerita tentang 'Sekulkas Coklat Dari Swiss' -bagaimana kegiatan jalan-jalanmu membawamu pada sebuah 'rumah' dan 'keluarga baru' yang dengan tulus menerimamu menjadi bagian dari mereka. Tapi aku juga sempat tersulut emosi ketika penulis menceritakan pengalaman tidak mengenakkan yang juga pernah aku alami di Negeri Jiran. Lebih dari itu, penulis juga secara tidak langsung mengajak kita untuk menikmati setiap proses perjalanan kita. Waspada itu perlu, tetapi menjaga prasangka pun akan menjadikan pembelajaran bagi kita, bahwa di sepanjang jalan masih ada banyak 'malaikat-malaikat penolong'. Meeting the strangers, making friends, sharing, and so many things could be happened along the journey. Dan lagi-lagi, hal-hal seperti itulah yang akan memperkaya pengalaman kita, hati kita. Karena tentu kita akan belajar untuk bertoleransi, saling tolong, dan pembelajaran lain yang pastinya akan mendewasakan kita dari setiap kejadian dalam perjalanan kita. Itulah yang hendak disampaikan penulis melalui buku Nomadic Heart ini.
Membacanya kita tidak akan pernah bosan. Hati kita diajak untuk mengembara bersama setiap rangkaian kata-katanya. Bahasa yang cukup ringan dengan pilihan kata yang tepat menjadikan buku ini lebih 'renyah'. Penulisan travel quotes di sela-sela paragraf juga menjadi faktor pendukung yang memberikan nilai tambah bagi cerita itu sendiri. Hanya satu kekurangannya, cerita-ceritanya kurang banyak om! :)



***

"Traveling adalah aktivitas spiritual tersakral manusia setelah agama. Traveling adalah sarana berkontemplasi banyak hati dalam mencari jati diri, mencari jawab atas banyak pertanyaan hidup. Buku ini akan memberikan gambaran kepada Anda beberapa contohnya, mengapa kami terus bergerak."


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Judul                : Nomadic Heart

Pengarang        : Ariy

Penerbit           : B-First

Komentar

  1. saya sampai deg-degan melihat judulnya saja, py!

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe kenapa gitu deg-degan?
      ayodong langsung dibaca bukunya :D

      Hapus
  2. BUKU YANG WAJIB SAYE MILIKI!!! tadi baru saja nyasar ke Blog Mas Ariy, hehehe... I do love traveling, makasi Wijaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. sippo, happy reading and... let your heart travels! ;)

      Hapus
  3. wah jd pgn beli
    kmrin sempet liat tp g jd beli

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayo dibeli dong mas! ajak hatimu berkelana :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain