Langsung ke konten utama

Lost in Bogor Botanical Gardens

23 Januari 2012

coba tebak, di manakah ini?
Dalam rangka mengisi waktu libur perayaan Tahun Baru Cina (yang biasa kita sebut dengan Imlek), saya, Lundu, Langun dan Dicky berencana untuk 'ngebolang' keluar kota. Malam sebelumnya kami telah berdiskusi dan sepakat untuk mengunjungi landmark terkenal kota Hujan, Kebun Raya Bogor.

Seperti terbangun dari mimpi buruk, saya tersadar dari tidur dan membuka mata lebar-lebar kemudian meraba kasur untuk mencari ponsel yang biasa saya taruh di samping bantal sebelum tidur. Makin terbelalak ketika mengetahui jam di layar ponsel yang menunjukkan pukul 07.40 berikut sejumlah sms telah mengantri di inbox untuk dibaca. Lompat dari kasur, segera saya buka menu SMS dan membaca pesan yang masuk. Isinya dari Langun dan Lundu. Nampaknya dari tadi mereka mencoba menghubungi saya. Secara saya yang mengusulkan untuk kumpul jam 07.00 di kosan Dicky dan tengoklah, lewat sudah 40 menit dari waktu janjian saya masih di tergeletak tak kuasa pergi dari pelukan hangat kasur saya tercinta ini -saya merasa dipelet. Saya pun membalas SMS mereka sambil menyiapkan baju dan mengutuki diri sendiri yang bisa-bisanya baru bangun jam segini padahal udah pasang alarm ganda. Mau jalan ke kamar mandi malah diajakin tawar menawar waktu yang diberikan untuk saya dapat sampai di kosan Dicky menyusul mereka. Ckckck

08.20
Begitu keluar dari kosan Dicky kami berbelok ke kiri menghampiri lapak kecil penjual kue. Rupanya memang sudah pada merencanakan untuk membeli kue sebagai bekal perjalanan kami, terbukti Dicky mengeluarkan kotak makanan dari tasnya dan kemudian diisi penuh Risoles dan Pisang Coklat oleh penjualnya. Kemudian kami berjalan ke depan gerbang kampus untuk kemudian naik angkot ke ruko sektor 3A mampir ATM menemani Lundu tarik tunai lalu berjalan ke minimarket terdekat menyempatkan beli air mineral ukuran 1 liter sebagai penghalau dahaga di perjalanan nanti. Jalan kaki masih berlanjut hingga stasiun Pondok Ranji.

Sesampainya di sana kami pun langsung membeli tiket commuter line tujuan Tanah Abang. Tak menunggu berapa lama kami pun sudah berada di dalam kereta yang melaju. Penumpang cukup ramai sehingga kami pun harus berdiri. Begitu sampai Tanah Abang pun kami bergegas menuju loket untuk membeli tiket. Lundu menyarankan untuk naik Pakuan Express tujuan Bogor, namun menurut keterangan yang kami peroleh dari information center stasiun Tanah Abang ternyata kereta ini sudah tidak beroperasi lagi. Jadilah kita ambil jam keberangkatan terdekat commuter line yang ternyata harus transit dulu di stasiun Depok untuk kemudian bersambung kereta lain arah Bogor. Mengisi waktu sambil menunggu kedatangan kereta, kami membuka kotak bekal kue kami sekadar untuk ganjal perut.

Tidak seperti kereta sebelumnya, kereta yang kami naiki sekarang cukup lengang. Bahkan, kami duduk di gerbong yang kebetulan pintu otomatisnya tidak dapat berfungsi secara baik sehingga tak ada penumpang yang naik dari pintu gerbong tersebut, jadilah kami dan sedikit penumpang lain yang 'menghuni' gerbong ini memiliki ruang gerak yang lebih. Memanfaatkan keadaan, kami pun mengambil beberapa foto di dalam gerbong. Lumayan untuk membunuh waktu daripada sekadar duduk menunggu kereta mencapai Depok.


Naik commuter line seperti ini mengingatkan saya pada film Thailand berjudul Bangkok Traffic Love Story (BTLS) yang banyak mengambil setting di dalam BTS (Bangkok Mass Transit System) -semacam monorail, ya sebelas dua belas lahya sama KRL/commuter line ini. haha Karena itu juga akhirnya saya mengajukan diri untuk mengambil gambar dengan kamera Lundu dan mengomandokan mereka bertiga untuk bergaya seperti poster film BTLS itu.

Bangkok Traffic Love Story (?)

suasana dalam KRL yang lengang


Tak terasa, kami telah sampai di stasiun Depok. Menurut keterangan pemeriksa tiket tadi sih kereta berikutnya bisa langsung membawa kami menuju Bogor. Jadilah kami disarankan untuk menunggu kereta tersebut di peron tempat kami turun. Begitu turun, kami disambut oleh suara musik yang bersumber dari player penjaja DVD/VCD di antara gelaran lapak yang berjajar di sepanjang koridor tunggu itu. Lucunya lagu yang diputar kebetulan adalah lagu anak-anak. Entah apa judulnya, tapi ini baru pertama kali kami dengar. Kalau tidak salah, lirik refrain lagunya seperti ini,"Aku naik, odong-odong.. aku naik, odong-odong..."

Akhirnya kereta kami tiba. Tak ingin ketinggalan kami pun turut berdesakan masuk gerbong. Kereta yang ini tak kalah padat penumpangnya dibanding kereta yang membawa kami ke Tanah Abang tadi. mau nggak mau, kami berdiri lagi.

Bogor, here we are!


kereta tua di stasiun Bogor


Mendung menyambut kedatangan kami di stasiun Bogor. Hujan pun menghampiri begitu kami keluar dari stasiun hendak berjalan mencari tempat makan terdekat. Saya dan Lundu berlindung dibalik hoody masing-masing. Langun dan Dicky bertahan di bawah payung yang sama. Kami melanjutkan perjalanan, menentang hujan. Namun tak berapa lama, hujan mereda dan hilang. Mungkin ini yang menyebabkan Bogor disebut sebagai kota Hujan. Kalau kata Lundu:"Hujannya angot-angotan".

Kaki melangkah membawa kami ke sekitaran Taman Topi, sebuah lokasi wisata keluarga yang tak begitu luas di timur stasiun. Kami tertarik untuk mengunjungi gerobak penjaja soto yang mangkal di deretan pedagang di sepanjang pagar luar masjid yang ada di utara Taman Topi -dengan adanya masjid jadilah saya bisa tahu arah hehe padahal aslinya, beuh...disorder oriented.

Saya memesan seporsi Soto Mie yang lebih murah dua ribu rupiah, sementara Langun, Lundu dan Dicky memilih menu Soto Daging seharga IDR12,000/porsi. Awalnya saya merasa kemahalan. Tapi, worth it juga kok. Ada harga ada rupa. Soto Mie pesanan saya pun -selain ada mie-nya, ada irisan daging dan kulit juga potongan lumpia bihun. Soal rasa, mungkin relatif ya. Tapi sudah cukup membuat cacing di perut saya menari hula-hula kegirangan. Hanya saja, tempat duduk yang terbatas membuat kami harus makan berdesakan berempat di bangku panjangnya.

Soto Mie Bogor IDR10,000 free hot tea

Tenaga kembali pulih usai charge energi. Siap untuk menjalani hari. Next stop: Kebun Raya Bogor (KRB). Untuk sampai sana, kami dapat menunggu angkot 02 Sukasari-Bubulak yang melintas di sekitaran Taman Topi ini. Angkot di Bogor entah berapa banyak jumlahnya. Sampai-sampai ada yang bilang kalau difoto pencitraan satelit, maka kota Bogor akan nampak hijau karena warna angkot-angkotnya.

Rasanya baru duduk di dalam angkot, tapi tahu-tahu sama abang sopirnya diberitahu kalau kita telah sampai. Kami diturunkan di pintu masuk KRB jalan Ir. H. Juanda. Hm, kalau dipikir-pikir Stasiun Bogor/Taman Topi ke KRB ini jaraknya tak begitu jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki. But, better save the energy for walking around in KRB. Kami berjalan di antara kerumunan pengunjung lain yang mengarah ke loket. Dicky pasang badan mengantrikan tiket untuk kami dan kemudian beriringan melewati pintu masuk sambil menunjukkan tiket kepada petugas.

tiket masuk KRB
 


Hal pertama yang kita datangi adalah papan besar bergambar denah petunjuk arah yang disertai informasi umum titik-titik penting juga menarik di kawasan KRB. Sangat disarankan mengambil brosur peta KRB atau paling tidak gunakan kamera Anda untuk mengabadikan information board ini sehingga tidak hilang arah di kebun botani dengan luasnya yang mencapai 87 hektar tersebut.

denah KRB


Ini adalah kali kedua saya mengunjungi KRB. Kunjungan sebelumnya saya belum sempat mendatangi beberapa titik menarik karena terbatasnya waktu kala itu. Jadilah saya memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Kami berjalan di sekitaran lokasi koleksi bambu KRB yang searah danau depan Istana Bogor. Lagi asyiknya berfoto, tumpahlah titik-titik air dari langit. Kami pun berteduh di bawah kerumunan bambu. Tak seberapa lama, hujan reda.





Perjalanan kami lanjutkan ke sebuah tempat yang tidak biasa. Kami tertarik dengan papan petunjuk yang mengarah ke dalam kerimbunan 'hutan bambu' dengan bertuliskan "Makam Belanda". Rupanya terdapat puluhan jenazah orang berkebangsaan Belanda yang disemayamkan di pemakaman ini. Mereka adalah para ahli Botani atau orang lain yang memiliki hubungan dekat dengan keberadaan KRB ini. Bahkan dari informasi yang ada, makam ini telah ada sebelum Kebun Raya Bogor didirikan. Makam tertua kalau tidak salah berangka tahun 17XX dan yang paling baru terukir tahun 1994 di nisannya. Tak heran, ada 2 orang bule (mungkin) berkewarganegaraan Belanda yang menyambangi areal pemakaman tersebut.

kompleks pemakaman Belanda


Kembali kami menyusuri jalanan keluar dari kompleks koleksi bambu menuju danau depan Istana Bogor. Rinai hujan yang turun tak mematahkan semangat kami untuk mengabadikan moment di pinggir danau dengan latar Istana Kepresidenan itu. Hujan yang turun kian deras. Kami pun berlari kecil mencari tempat berteduh. Di sinilah kami tahu, apa maksud dijajakannya kantong kresek yang sedari pintu masuk tadi banyak pedagang menawarkannya. Beberapa pengunjung lain terlihat memakai kantong hitam itu untuk sebagai pelindung kepala dari hujan. *ta'dum cess!

Istana Kepresidenan Bogor

 
"Lain waktu mending bawa jas hujan lah kalau maen ke sini, biar tetep bisa jalan kalau hujan begini", celetuk Dicky. Hm, ide yang bagus dan bisa jadi masukan bagi Anda yang hendak mengunjungi KRB di musim penghujan semacam ini. Karena tempat berteduh kami tidak cukup menaungi kami dari hujan, kami pun nekad untuk berjalan menembus hujan. Langun dan Dicky berpayung bersama sedang saya dan Lundu yang mengandalkan hoody di badan berjalan merapat di belakang mereka. Satu payung meneduhi kami berempat.

Singkat cerita kami telah sampai di hamparan rumput yang cukup luas dengan sebuah kolam kecil dengan sekumpulan bulatan daun teratai yang lebar di depan Dedauan Cafe. Sembari mengistirahatkan kaki, kami pun melahap habis sisa bekal kue yang kami bawa tadi. Lokasi ini menurut saya merupakan salah satu spot menarik yang tak boleh dilewatkan kalau berkunjung ke KRB. Tanpa membuang waktu lagi, kami pun bergaya di depan kamera milik Lundu.

you jump, i jump!

sarangheyo...




Mentari bersinar cerah. Entah bagaimana bisa hujan datang dan pergi begitu saja. Saat pengunjung lain yang berada di tengah padang rumput itu berhamburan mencari tempat berteduh ketika hujan menyapa, kami berempat justru bertahan di sana, sama-sama berlindung di bawah sebuah payung yang tak begitu lebar. Saat hujan berlalu kembali kami bersenda gurau di atas hijaunya rerumputan. Hujan datang lagi, kali ini mengajak serta terpaan angin yang cukup kencang. Kami berempat terbahak menertawai diri kami sendiri yang masih saja berdiri berdesakan merapatkan diri di bawah payung di tengah lapang. Ingin rasanya mengabadikan moment ini. Saya pun mengambil inisiatif keluar dari bawah payung berniat mendokumentasikan peristiwa absurd tersebut dengan kamera ponsel saya. Namun, angin yang bertiup kencang ke arah kami nyaris menerbangkan payung tempat kami bernaung. Gelak tawa kami kembali menggema di bawah rintik hujan yang turun. Benar-benar KONYOL!

wusss...angin bertiup kencang

Sebelum melanjutkan penjelajahan, saya bergegas ke mushola terdekat untuk menunaikan Dzuhur. Kebetulan dari kami berempat hanya saya yang muslim. Tapi, justru mereka bertiga yang mengingatkan saya untuk menunaikan ibadah bahkan ketika Adzan belum berkumandang. Thanks, guys...

Exploring Bogor Botanical Garden berlanjut ke pencarian ke jembatan gantung yang seringkali digunakan sebagai setting FTV atau sinetron di layar kaca -ini info penting nggak sih? Diperjalanan menuju lokasi jembatan gantung itu kami mampir di sebuah taman dengan tata bunga yang dibentuk seperti lambang negara kita, Burung Garuda. Saya malah sempat bergelanyutan pada akar pohon yang menjalar di pekarangannya. Dari jembatan gantung kami menaiki anak tangga di sebelah tempat ziarah menuju ke Penisan yang berseberangan langsung dengan pagar sisi lain istana. Banyak rusa berkeliaran di halaman rumput istana di balik pagar itu. Bahkan ketika kami mendekat sempat ada seekor rusa yang 'berdiri' mencoba menggapai dedaunan di pohonan yang tak begitu tinggi di situ. Sayang kami tak sempat mengabadikannya.


bergelanyutan

taman bunga replika Garuda Pancasila

 


Penisan

 

salah satu patung karya seniman Swedia di pelataran Istana Bogor
it's so funny, but don't do this anymore dude!

Dicky ingin sekali melihat bunga Bangkai. Sejenak kami kembali memandangi peta KRB untuk menemukan di mana lokasinya. Kembali kami memulai pencarian, berjalan ke arah gerbang utama kemudian mengikuti papan petunjuk yang mengarah ke tempat bertumbuhkembangnya Amorphophallus titanum itu. Sesampainya di sana: we found nothing. Bunga bangkai tengah dalam masa dormansi. Padahal bunga ini tumbuh setiap 2-3 tahun sekali. Jadi, TIGA tahun lagi kita harus kembali ke sana untuk bisa melihatnya? (Glek!) Dicky nampak kecewa.

Akhirnya kami beristirahat sejenak di taman Teisjmann. Memandang ke sekitar. Pengunjung lain nampak menikmati kunjungannya ke sini. Suka cita anak-anak kecil yang berlari-larian bermain bersama ayahnya, serombongan keluarga yang galau mau menggelar tikarnya, mas-mas yang tiba-tiba keluar dari balik rimbunan bambu (masa sih dia pipis sembarangan? padahal di seblahnya ada toilet loh | mungkin dia ke belakang pohonan bambu buat nyalain rokok biar nggak kena angin -boleh juga ini logikanya) dan pengunjung lain yang berlalu lalang.

Laskar Bolang
Playing Ball with happiness

go daddy, go daddy, go!

Menjelang Ashar kami beranjak menuju Museum Zoologi. Di jalan, kami yang melewati dahan pohon yang melengkung ke jalan. Langun dan Lundu tiba-tiba jalan kayang ala permainan Limbo melewati lengkungan dahan itu. Pasangan yang kebetulan melintas di dekat kami pun nampaknya menertawakan tingkah mereka. Sebodoh amat ya, kan nggak kenal ini :p

Pernahkah Anda berkunjung ke Museum Satwa di Malang? Boleh deh mengintip sedikit cerita saya waktu berkunjung ke sana. Nah, Zoological Museum di KRB ini jelaslah generasi pendahulu dalam 'pergaulan' museum yang menawarkan display atau diorama kehidupan beranekaragam satwa. Saya yakin, tempat ini dulunya adalah tempat paling keren pada masa kejayaannya. Lain dulu lain sekarang. Bolehlah bangunannya 'reyot' (karena ada peringatan bagi pengunjung agar mewaspadai langit-langit yang bisa runtuh sewaktu-waktu) dan rada spooky. Tapi seharusnya nilai historis dekorasi dan bangunannya yang tua dan kusam itu bisa jadi nilai tambah museum ini. Konsepnya sih sebenarnya sama seperti museum Satwa yang di Malang, hanya saja, tata lampunya di sini kurang bagus jadinya objek display-nya nggak terlihat 'hidup' karena sekadar dipasang lampu neon untuk pencahayaannya. Pemeliharaannya pun menurut saya kurang tertangani dengan baik. Selain memang usia hewan-hewan ini sudah cukup lama diawetkan, perawatannya pun kurang profesional. The animals look like fake because they're varnished. Bayangkan betapa berharganya seekor Badak bercula satu yang merupakan spesies terakhir dan sengaja dibunuh sebelum didahului para pemburu untuk kemudian dijadikan salah satu pajangan di museum ini dengan perlakuan ala kadarnya begitu :(

Poor Rhino :(

hidung dan bibirnya di-varnish





Kala Adzan Ashar berkumandang, kami meninggalkan museum dan menuju pintu keluar KRB. Rasa lapar mulai menggelitiki perut kami. Bingung mau makan di mana, akhirnya saya merekomendasikan food court lantai 4 Bogor Trade Mal (BTM) dengan balkon menghadap gunung Salak dengan city view of eastern Bogor di kaki gunungnya. (Kenapa nggak makan di warung yang menjual kuliner khas Bogor saja? Kami sudah lelah untuk berpikir mau makan apa dan di mana. Ini ajalah yang jelas terlihat mata, yang penting makan)

Sesampainya di BTM Dicky mengajak untuk mencari toilet terlebih dahulu. Sekalian saja, saya mengajak mereka mengikuti penunjuk arah yang kebetulan toilet dan musholanya searah. Jadilah saya mengambil wudhu untuk kemudian sholat Ashar di mushola, sementara yang lain mampir ke toilet.

Tangga berjalan membawa kami semakin tinggi menggapai lantai demi lantai di pusat perbelanjaan ini. Belum juga sampai food court di lantai 4, Lundu sudah tergoda untuk makan di resto seafood dengan tagline-nya "Rasa Bintang Lima, Harga Kaki Lima" yang erada di lantai 3. Kami pun memilih tempat duduk dekat jendela supaya bisa mendapat pemandangan Gunung Salak dan pemukiman padat kota Bogor.


lenyap dalam sekejap

17.10
Kami meninggalkan BTM dan menaiki angkot 02 Sukasari-Bubulak (lagi) arah sebaliknya yang menuju stasiun Bogor. Kami bermaksud untuk mengejar jadwal kereta tujuan Tanah Abang pukul 17.45.

Senja menjelma, dan kereta kami diberangkatkan kembali ke Jakarta. Kami berbincang ringan untuk membunuh waktu. Di luar hari telah gelap. Inilah, yang bisa bikin bahaya! Kalau udah gelap gini nggak tahu deh ini kereta udah nyampe mana. Bahkan ketika kereta kami sampai di Tanah Abang, kami tidak sadar. Lagi asyiknya ngobrol kok banyak penumpang yang turun. terus pas nengok keluar kok stasiunnya didominasi warna hijau? Beruntung kami cepat tanggap dan secara spontan menanyai abang-abang yang berdiri di peron tepat di depan pintu kami. "Ini stasiun apa ya, Bang?" | "Tanah Abang"

Kembali kami menertawai diri sendiri sambil lompat keluar dari kereta. Bisa-bisanya kami tak menyadari kalau kami telah tiba di Tanah Abang. Tak lama setelah kami keluar, pintu kereta tertutup dan kembali melaju. Wuiih... Syukurlah kita nggak kebawa kereta. Kami berburu tiket commuter line untuk menempuh perjalanan kembali ke Bintaro. Kebetulan kereta berikutnya berangkat 7 menit lagi. Lagi-lagi ketika kami sudah duduk di dalam kereta, keraguan datang menghampiri. Udah benar nggak ya kereta yang kita naiki? Masih ada waktu untuk mengubah keputusan sebelum kereta diberangkatkan! Tapi tadi tanya penumpang yang lain udah benar sih. Pintu ditutup, kereta pun melesat. Apapun yang terjadi nggak apa deh nyasar yang penting barengan (loh?) Kegundahan hati kami terjawab usai menanyai pemeriksa tiket. Yap! Sekitar setengah delapan malam kami telah mendarat kembali di stasiun Pondok Ranji. Segera meneruskan jalan kaki ke perempatan Plaza Bintaro dan akhirnya... Kami sampai di kosan masing-masing.

Hari yang cukup melelahkan tapi juga menyenangkan. So much fun, much laugh, much joking, much walking, much ta'dum cess! Terima kasih untuk 'warna' hari ini...

cast:

me



 

=================================================================================

Pengeluaran:
Angkot                                                                                  2000
Kereta Pondok Ranji - Tanah Abang                                     6000
Kereta Tanah Abang – Bogor                                                7000
Angkot                                                                                  2000
HTM KRB                                                                            9500
Angkot                                                                                  2000
Kereta Bogor - Tanah Abang                                                 7000
Kereta Tanah Abang - Pondok Ranji                                      6000
Angkot                                                                                  2000

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain