Langsung ke konten utama

Backpacking Thailand: when culture and modernization coexist in harmony

2 Maret 2012
Part 1:  Welcoming Messed Up

Bangkok in the morning | source: Google


We could just go home right now

Or maybe we could stick around
For just one more drink, oh yeah...
Get another bottle out
Lets shoot the breeze
Sit back down
For just one more drink, oh yeah...

Here's to us
Here's to love
All the times
That we messed up
Here's to you
Fill the glass
Cause the last few days
Have gone too fast
So let give em hell
Wish everybody well
Here's to us...
Here's to us...

Stuck it out this far together
Put our dreams through the shredder
Let's toast cause things got better
And everything could change like that
And all these years go by so fast
But nothing lasts forever

Here's to us
Here's to love
All the times
That we messed up
Here's to you
Fill the glass
Cause the last few nights
Have gone to fast

If they give you hell
Tell em to forget themselves
Here's to us...
Here's to us...

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya terjaga kala sinar temaram lampu jalanan menembus jendela bus kami yang melaju kencang menuju Bangkok dini hari itu. Tak ingin kehilangan saat-saat pertama saya memasuki ibukota Thailand tersebut, sekuat tenaga saya membelalakkan mata agar tidak sampai kembali terlelap.

Hari beranjak terang ketika bus kami mencapai Bangkok. Gedung-gedung tinggi menjulang mulai terlihat menyambut kedatangan kami. Saya pun terkagum dengan pembangunan infrastruktur kota ini. Nampak sekali upaya pemerintah dalam mengatasi kemacetan yang sempat menduduki peringkat satu dunia. Meski tingkat kemacetan di Bangkok kini sudah jauh berkurang, namun pagi itu telah banyak kendaraan yang seliweran di jalanan. Mungkin mereka berangkat kerja sepagi itu untuk menghindari bertemu si Komo #yakali

Tepat pukul 06.10 bus kami menyeberangi jembatan yang melintas di atas sungai Chao Phraya! Rasanya ingin teriak saking senang dan tak percayanya. Tapi ya daripada ntar dibilang norak, saya hanya mangap-mangap dari balik jendela mengagumi keindahannya.

Bus terus bergerak dan saya masih terpaku menikmati pemandangan kota Bangkok di pagi hari. Sampai mata saya menangkap tulisan "CHATUCHAK WEEKEND MARKET". Kyaaaaa siapa yang tak kenal pasar akhir pekan yang diklaim terbesar sedunia itu? Apalagi kaum hawa, beuh...tempat ini adalah surga bagi mereka.Berhubung sekarang masih hari Jumat, jadilah hanya sebagian kecil kios yang membuka lapak untuk berjualan. Sabtu-Minggu tentu akan menjadi pilihan yang tepat untuk menenggelamkan diri di tengah riuh rendah pasar yang menyediakan berbagai macam barang dagangan super lengkap dengan harga yang terjangkau tentunya. So, don't miss it, girls! ;)

Chatuchak Weekend Market / JJ Market | source: Google


Bus berbelok ke kanan, tak jauh dari lokasi Chatuchak/JJ Market tadi. Rupanya kami telah sampai di terminal bus Mo Chit. Begitu turun dari bus, kami berjalan mengikuti arus penumpang lain -kalau kata kepala sekolah saya jaman dulu sih,"Kalau kamu tidak tahu arah, ikuti saja orang banyak" hehe Kalau dilogika toh penumpang yang turun dari bus pastilah menuju arah pintu keluar bukan? Kaki melangkah tak tentu arah, tapi mata udah jelalatan ke mana-mana mencari pusat informasi. Kami harus mencari tahu bagaimana  mencapai Khao San Road dari terminal Mo Chit ini.

Mo Chit Bus Station | source: Google


Mbak-mbak di bagian informasi memberitahu kami bahwa kami dapat naik taksi menuju Khao San dengan biaya kurang lebih sekitar 150 Baht atau naik bus umum nomor 3 yang mbaknya nggak tahu berapa tarif pastinya -tapi jelaslah lebih murah. Kami kan niatnya jalan-jalan hemat, biar lebih menantang jadi ya akhirnya kami memilih untuk naik bus saja. Setelah menanyakan tempat di mana kami dapat menemukan bus nomor 3 dari pusat informasi tersebut, kami pun menyusuri koridor yang tembus ke deretan kios-kios tembus ke bagian lain dari terminal itu. Lagi-lagi, kami hanya berjalan mengikuti keramaian yang ada. Sampai akhirnya kami memasuki sebuah gedung dengan deretan loket-loket penjual tiket perjalanan. Kembali kami menghampiri bagian informasi.

"Where can i find the bus to Khao San Road?" saya antusias bertanya, menaruh harapan besar untuk sebuah pencerahan.
"Oh, it's in the next building. You can ask the information there", jawab seorang bapak-bapak di balik meja informasi sambil tangannya menunjuk ke arah kedatangan kami. Jiaaaahh, barulah kami sadar bahwa sudah terlampau jauh kami berjalan sampai tidak terasa nyasar ke terminal sebelah.

Begitu keluar dari gedung itu, kami mencoba jalan lain dengan berbelok ke kanan menuju tempat yang lebih lapang. Siapa tahu lapangan parkir yang luas ini adalah tempat ngetem bus-bus lokal. Kami berjalan menuju sebuah bangunan di tengah terminal. Begitu sampai sana, ternyata ini adalah peron-peron tempat menunggu bus-bus antarkota antarprovinsi. Sejauh mata memandang hanya bus double decker yang terlihat. Kembali kami dibuat kecewa, bukan ini tempatnya. Bahkan setelah dilihat-lihat terminal ini memang bukan  bagian dari terminal tempat kami turun pertama tadi meskipun masih dalam satu kawasan. Terbukti dengan adanya pagar kawat pembatas yang memisahkan. Yasudahlah, kita kembali ke titik nadir saja, tempat semula kita berada. Rasa penasaran dan geregetan sebenarnya masih berkecamuk dalam hati, tapi bagaimana lagi? Daripada semakin lama kami mencari maka waktu dan tenaga kami akan terbuang percuma, padahal hari ini akan menjadi hari panjang yang akan kita lalui dengan menjelajah kota Bangkok. Akhirnya kami memutuskan untuk naik taksi saja. Wahai bus nomor 3, di mana tempat ngetem mu berada? :(

Lebih mudah untuk menemukan taksi, ada tempat khusus yang memang diperuntukkan sebagai jalur taksi. Just stand over there and take a taxi in front of you! Tak perlu khawatir untuk tawar menawar, taksinya jenis taksi meter kok. InsyaAllah aman, tinggal pantengin aja argo meternya aja sambil intip-intip sesuaiin isi dompet :p

Begitu masuk taksi, kami menyebutkan tujuan kami.

penampakan taxi-meter | source: Google


"Khao San Road"
"Khao San? bla bla bla bla" Supir taksi itu menyambut dengan bahasa Thai.
*glek! -Cuma bisa menelan ludah, pagi-pagi harus berkutat dengan agenda lost in translation.
"Poot Thai mai dai krab" Saya berusaha menjelaskan bahwa kami tidak bisa berbahasa Thai.
Rupanya pak supir itu jadi keki. Sesaat kami terdiam. Namun pak supir kembali melontarkan kalimat-kalimat dalam bahasa Thai. Sepertinya dia menanyakan, "Mau ke mana? Khao San? Yakin? Khao San kan? Thanon Khao San?" Entah mengapa berulang kali dia coba meyakinkan kami atau mungkin dirinya sendiri bahwa tujuan yang kami sebutkan adalah benar, Khao San.
"Thanon Khao San?" Tanyanya lagi.
Lha, kenapa ada thanon-thanon-nya? Apalah itu artinya? Di tengah kebingungan yang mendera, mata saya menangkap sebuah plang nama jalan dalam bahasa Thai dan bahasa Inggris. Barulah saya tahu, Thanon artinya adalah jalan, dalam bahasa Thai.
"Krab, Thanon Khao San", jawab saya berseri-seri.
Tak berapa lama waktu berselang, pak supir kembali bertanya (masih dalam bahasa Thai).
"Thanon Khao San, itu dekat Sanam Luang kan ya? Sebelah mananya Sanam Luang?" Duh! Kacaulah ini. Sanam Luang kayanya pernah dengar deh, di mana ya itu? Err... Aha! Saatnya kitab perjalanan kami beraksi. Saya mengeluarkan bukunya Om Ariy, seingat saya ada peta sederhana Bangkok di dalamnya. Yeay! Begitu menemukannya, dengan gembira segera saya tunjukkan kepada pak supir. Diamatinya peta itu sesaat. Dia nyengir. Wah tanda-tanda nih, pasti pak supirnya tidak bisa membaca tulisan latin. Kyaaaaaaa -,- sudahlah nggak tahu lagi harus bagaimana. Kami pasrah, pak.

Kekurangberuntungan semakin dipertegas dengan apa yang terjadi di hadapan kami saat taksi berhenti di lampu merah. Di seberang sana terjadi sebuah insiden kecelakaan! Aduh, bisa tambah lama nih ntar ngendon di sini, mana argo jalan terus. Beruntung itu hanya kecelakaan kecil, semacam pengendara motor yang terguling karena diserempet pengendara yang lain. Lucunya bukannya segera mendirikan kembali motornya yang ambruk, pengendara motor yang sempat terlempar dari motornya itu malah celingukan mencari ponselnya.

Begitu taksi kami kembali melaju di jalanan Bangkok, saya pun mulai memasang kuda-kuda. Kira-kira saat ini posisi kami ada di mana. Saya mencocokkan nama jalan yang saya lihat dengan gambaran di peta. Jalan yang kami tempuh rupanya sudah sesuai menuju arah Khao San. Lumayan padat juga lalu lintas pagi itu. Maklumlah, lagi pada keroyokan meramaikan jalanan untuk menuju tempat kerja dan sekolah. Dalam hati sih tetap berdoa agar jangan sampai kena macet. Miris juga lah melihat argometer yang terus bergerak ke angka yang lebih besar.

Begitu memasuki Samsen Road yang searah dengan Chakrapong Road, jalanan utama yang salah satu cabang jalannya adalah Khao San Road, si bapak supir memberitahu kami lagi (masih dalam bahasa Thai loh ya).
"Ini ntar di depan setelah jalan ini kita kan sampai di Khaosan Road kan?"
"Krab, dtrong bai krab..." (iya, lurus aja terus pak) sahut saya.
Setelah melewati persimpangan jalan bapaknya menanyakan hal serupa. Saya terus saja jawab "Dtrong bai krab..."
Sampai akhirnya taksi kami berhenti dan pak supir kembali bertanya,"Khao San, Thanon Khao San? Iya kan?"
"Krab, dtrong bai krab..." Saya tetap konsisten pada jawaban saya, karena memang saya belum menemukan plang jalan bertuliskan Khao San. Tapi dari peta sih sudah dekat sepertinya.
"Thanon Khaosan..." Timpalnya sambil menunjuk ke arah jam 11. Dan Barulah saya sadar, kami telah sampai di mulut jalan Khao San -,-
Argometer menunjukkan 141 Baht. Saya pun mengangsurkan uang 150 Baht. Eh, sama bapaknya masih dikasih kembalian loh. Dia memberikan beberapa uang koin recehan senilai 9 Baht. Lumayan buat nambah koleksi uang kami #eh

Thanon Khao San? -,- | source: Google

Khao San Road in the morning | source: Google


Dan... inilah Khao San Road! Sebuah jalan yang paling terkenal di kalangan backpacker dunia! Pagi itu, kami berjalan menyusuri Khao San Road. Beberapa orang terlihat berbenah membereskan sisa-sisa kemeriahan semalam. Beberapa kali kami berpapasan dengan bule-bule yang mondar-mandir dengan menggendong backpack-nya atau menarik koper berodanya. Terasa sekali suasana hectic yang bakal hadir di malam hari di sepanjang jalanan ini. Deretan bar, resto dan cafe yang berjajar di sisi-sisi jalan tentu menjadi salah satu tempat yang memfasilitasi keriuhan yang timbul di malam hari. Ada banyak penginapan juga di sini, tapi sudah pasti bisa ditebak harganya. Sempat sih kami mampir di sebuah hostel rekomendasi karena harganya yang reasonable berada di sudut jalan Khao San dan Tanao, Chada Hostel, sayang fully booked. Kami mencoba alternatif lain, Rambuttri Road, beda satu blok dari Khaosan Road. Sebelas dua belas lah.  Karena mulai galau nggak dapat-dapat penginapan, akhirnya saya meminta Indra untuk googling-in penginapan di sekitar mengenai rate dan ketersediaan kamar. Hasilnya, harganya mahal dan kebanyakan sudah penuh. Kami kembali berkelana, kali ini kami menyusuri soi Rambuttri (soi artinya gang /terusan jalan dalam bahasa Thailand) yang berada di seberang Rambuttri Road. Semakin jauh kami berjalan di soi Rambuttri ini, rasa lelah yang mulai bergelanyut mulai melambatkan langkah kami. Sampai kembali saya menemukan sebuah hotel yang saya ingat penampakannya sama seperti yang direkomendasikan oleh seorang om-om kenalan dari group bacpacker di FB. Hanya saja saya lupa rate-nya berapa. Saya memberitahukannya kepada Indra untuk kemudian kami duduk di emperan toko di depan hotel sambil kembali berdialog dengan mbah Google. Yah, sayang...harganya terlalu mahal bagi kami. Berdua akhirnya kami saling bekerja sama menandai dan mencatat nama penginapan berikut harga per malamnya yang  terjangkau kantong kami untuk kemudian disamperin satu per satu.

Akhirnya, kami menemukan satu penginapan yang ada dalam daftar kami, Place Inn. Sempat ragu juga saat memasuki celah sempit yang menjadi front desk-nya. Seorang bapak-bapak keturunan India menyambut kami. Usai berdiskusi sejenak akhirnya kami menyepakati untuk mengambil kamar untuk dua orang dengan harga 300 Baht semalam. Setelah mengisi data diri dan menyelesaikan pembayaran, kami diberi kunci kamar dan dipersilahkan untuk langsung saja menuju kamar kami. Kamar kami terletak di lantai empat (4th floor) sementara meja resepsionis ini berada di ground floor. Ya, samalah artinya kamar kami berada di lantai LIMA! -dan jangan harap ada lift yang dengan mudah dan cepat mengantarmu ke sana. Yosh..! Let's climb stairways to heaven...

Begitu membuka pintu kamar, cukup bersyukur juga kami mendapatkan kamar ini. Tempat tidur yang lumayan lega, eh, ada TV-nya pula! Meskipun ruang kamarnya sendiri hanya selebar tempat tidurnya. Di dalamnya ada meja rias, kipas angin juga AC. Hm... sudahlah cukup pakai kipas angin saja lah ya kita daripada ntar kena tambahan biaya untuk pemakaian AC.

Kamar hotel kami, Place Inn, Soi Rambuttri - BKK

300 Bath for 2 persons/night TV & AC included


"Knock..knock..."

Baru sebentar kami merebahkan badan di atas kasur, seseorang mengetuk pintu kamar kami. Ternyata bapak-bapak pemilik penginpan ini tadi.

"Sini-sini saya nyalakan dulu AC-nya" Katanya sambil berjalan dan lalu naik ke kasur untuk menggapai AC yang menempel di dinding.
"AC? Boleh dinyalain? Ini sudah termasuk ke dalam harga yang sudah saya bayar tadi?" Saya berusaha memastikan tidak ada biaya tambahan yang harus kami keluarkan.
"Iya, tentu" Jawabnya enteng. Syukurlah... :')
*dialognya pakai bahasa Inggris loh ya hehe

Menyalakan AC-nya manual loh! Dibuka penutupnya, baru deh pencet tombol power-nya. Parahnya, aliran listrik untuk AC tersebut belum dinyalakan, akhirnya saya diminta untuk memberitahu saudara laki-lakinya yang stand by di meja depan untuk menyalakan panel listrik untuk AC kamar kami. Sigh... Enjoy the stairways, yah! T.T

"Oiya, nyalain aja TV-nya. Ada channel bahasa Inggrisnya kok" kata si bapak itu menginformasikan. Kami hanya mengangguk mengiyakan. Belakangan, setelah TV itu benar-benar kami nyalakan kebanyakan tetaplah channel-channel berbahasa Thailand, minim bahkan susah nemu yang bahasa Inggris. ckckck

Pagi itu mendadak kelabu saat kami mengetahui bahwa pengeluaran sehari kemarin dan pagi ini telah mencapai angka melebihi 2000 Baht! Menyisakan bekal uang yang hampir tinggal setengahnya. Galau finansial melanda! Bagaimana bisa? Apa yang harus kami perbuat? Separuh perjalanan belum ada, hari-hari ke depan masih panjang, kami masih harus menyelesaikan rencana perjalanan, setidaknya kami membutuhkan dana yang cukup untuk perjalanan kembali ke Phuket, karena tiket penerbangan pulang ke Jakarta melalui Phuket. Ah, rasanya dunia runtuh. Lemah, letih, lesu dan lunglai seolah keroyokan menyergap tubuh. Masa iya perjalanan kita harus terhenti di sini? Memikirkan kunjungan ke Chiang Mai, Thailand Utara, pun rasanya tak berani. Tapi, kalau kami menetap di Bangkok maka biaya hidup akan lebih mahal daripada di Chiang Mai. Apalagi kembali ke Phuket, itu jauh lebih dalam merogoh kocek! Apakah kita bisa bertahan?

Saya pun berusaha mengalihkan kegalauan melalui musik. Niat hati ingin membuang jauh risau di hati dengan mendengarkan alunan nada dari pemutar musik ponsel melalui headset, malah nambah bikin keki karena rangkaian lirik lagu Here's to us yang dibawakan oleh Glee cast cukup mewakili kondisi kami, galau finansial (?) Sampai merinding saya kupingin lagunya, apalagi diputar dalam mode repeated. AAAAAAA -belakangan baru saya sadari kalau saya merinding bukan karena lagunya, tapi karena posisi saya yang tiduran tepat di bawah air conditioner yang menebarkan hawa dingin-dingin empuk #krik

Tak ingin berlama-lama dalam keterpurukan, akhirnya saya berganti playlist ke lagu-lagu OST Suckseed (Thai Movie) satu album yang lebih nge-rock dan upbeat! Lumayan buat naikin mood.

to be continued... on Part 2

Komentar

  1. your journey so adorable p'... thumbs up for you :)

    BalasHapus
  2. kyaaaa terima kasih sahabat...
    semoga nggak hanya catatan perjalanannya ya yg adorable, penulisnya juga hehe

    Ayo je! kangen bepergian bareng 'mbolang' ke mana-mana, haha
    catatan perjalanan kita sama Fahmi Danto ingin rasanya diulang, dengan objek dan cerita yg berbeda, biar bisa aku tulis di sini :)

    pokoknya thanks buat kamu, udah mau mampir, baca, dan bahkan share blog aku ini. seneng juga kamu berkenan ninggalin komentar, thanks thanks thanks! :D

    mampir yo di postingan-postingan yg lain... hehe :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain