Langsung ke konten utama

Jomblo, Dieng dan Mandi Asap

Telaga Warna, Dieng
Halo, mblo! Daripada mengutuki ke-jomblo-an mending nimbrung jalan-jalan bareng teman. Kegalauan hilang, mana tahu bisa nemu jodoh di jalan. Berangkat dari niat mulia itulah aku dan Fahmi bergabung dengan Sandi bersama empat kawannya, Etna, Erna, Ipin, juga Tezo, yang berencana untuk menghabiskan liburan Natal di dataran tinggi Dieng tahun 2012 lalu.
Kawasan dataran tinggi Dieng –yang sebagian wilayahnya masuk kabupaten Banjarnegara dan sebagian lagi masuk kabupatenWonosobo terkenal dengan bentang alamnya yang indah. Untuk menuju ke sana, kami naik kereta api dari Jakarta menuju Purwokerto lalu menyambung perjalanan dengan menggunakan mobil sewaan.
Nephentes Homestay, sekitar lima ratus meter dari komplek Candi Arjuna, menjadi pilihan kami untuk menginap. Sebenarnya lebih karena sudah jadi langganan sih. Well, Sandi yang merancang perjalanan ini. Dia sudah pernah ke sini sebelumnya, jadi kita mah ngikut aja. Meskipun penampakan bangunan dua lantai ini memberikan kesan ‘horror’ karena gaya bangunan dan desain interiornya yang jadul, tapi sebenarnya keceh banget loh. Jauh dari yang namanya hantu. Secara ini merupakan sebuah rumah yang oleh pemiliknya memang sengaja disewakan kamar-kamar tidurnya. Jadi, kita tinggal serumah sama pemiliknya. Udah pemiliknya baik, ramah, fasilitasnya oke (ada TV kabel, tungku perapian, sampai hot/cold shower), masakannya juga enak! Pokoknya serasa di rumah sendiri aja. Very recommended deh! –nitip salam ya buat Bu Nur kalo kalian kebetulan nginep di sini :)
“Ayo pak, makan bareng kita”, Sandi mempersilakan Pak Gino, sopir mobil rental kami, untuk bergabung bersama kami menikmati santap malam yang sudah dipersiapkan di ruang TV. Biarpun nasi dan lauknya sudah dingin, tapi kebersamaan menjadi penghangat bagi kami.
“Eh, siapa yang mau minuman hangat? Mau teh atau kopi, bilang aja. Nanti aku bikinin”, aku mem-volunteer-kan diri. Kebetulan, sudah disiapkan juga piranti menyeduh teh atau kopi tepat di depan lemari TV.
“Boleh, aku teh anget aja deh”, satu orang menyahut.
“Aku juga mau teh hangat”, orang kedua mengaminkan.
“Ikut suara terbanyak ajalah”, selebihnya ikut-ikutan.
Aku pun mulai menyibukkan diri dengan job baruku sebagai bartender, eh, barista! Tapi aku rasa bukan keduanya.
“Hepi, kalau nyeduh minuman itu sendoknya keluarin dulu. Jangan sendoknya masih di dalam gelas terus kamu tuangkan air panasnya. Nanti unsur besinya meleleh ikut larut dalam minuman itu. Bahaya! Gunakan sendok hanya waktu mengaduk saja”, Etna memberi kuliah singkat begitu melihat caraku menyeduh minuman. Aku merasa gagal sebagai barista. Aku batal buka warung kopi. Aku nggak cocok kerja di air. Aku nggak bisa berenang(?)
Usai makan malam kami dikenalkan dengan mas Arifin, warga local setempat yang akan memandu dan menemani kami selama di Dieng.
“Lekas tidur saja, besok kita berangkat pagi sekali untuk mengejar sun rise di bukit Sikunir”, pesan mas Arifin sebelum pamit undur diri. Pak Gino pun pergi mengiringi mas Arifin.
Bukannya segera beristirahat, kami malah bermain kartu sambil nonton TV. Sesekali kami menyesap minuman hangat buatanku tadi. Belakangan akhirnya kami bergabung bersama Bu Nur, Pak Gino, dan Mas Arifin yang duduk bercengkrama sembari menghangatkan diri di depan tungku perapian di lantai satu.
Udara dingin Dieng akhirnya ‘memaksa’ kami untuk pergi tidur. Bergelung di bawah selimut pastilah pilihan yang tepat! Kami bertujuh menghuni lantai dua yang terdiri dari tiga kamar tidur. Erna dan Etna kebagian kamar yang lebih luas dengan kamar mandi di dalam. Di kamar sebelahnya diisi Sandi, Ipin, dan Tezo –entah kenapa mereka memilih berdesakan bertiga, mungkin biar lebih hangat! Tapi aku sih yakinnya mereka bakal rebutan tarik ulur selimut. Hihihi Sementara aku dan Fahmi di kamar sebelahnya lagi.
Aku dan Fahmi masih enggan untuk lekas memejamkan mata meskipun sekarang kami sudah meringkuk di bawah selimut tebal yang sebelumnya terlipat rapi meng-cover spring bed yang cukup lega untuk kami gunakan berdua. Kami lebih memilih untuk menekuni layar ponsel kami masing-masing. Kebiasaan sebelum tidur: scroll down timeline Twitter!
“Ya ampun, timeline isinya galau semua! Haha...”, celetukku tiba-tiba saat membaca kicauan teman-teman di Twitter.
Sebenarnya ini bukan kali pertamanya mereka berkeluh kesah mempertanyakan nasib kami, para lulusan salah satu Perguruan Tinggi Kedinasan paling demanding di Indonesia, yang (masih saja) belum memperoleh kepastian waktu penempatan kerja untuk mengabdi kepada negara. Padahal ini sudah dua bulan lebih terhitung dari hari wisuda kelulusan kami.
“Bagaimana nasib kita ya Mi kalau begini terus?”, aku kemudian membuka pertanyaan untuk menjadikan ini komunikasi dua arah karena perkataanku sebelumnya tidak mendapat respons dari Fahmi.
“Hm, entah. Lihat saja nanti”, Fahmi masih menatap asyik layar ponselnya, tak begitu bersemangat untuk menjawab.
“Tapi, life planning gue bisa berantakan nih kalau begini caranya”, aku menyampaikan pendapatku mencoba untuk membuka diskusi.
“Ah, gue biasa aja tuh. Sejauh ini masih aman, karena emang gue bikin life planning-nya umur dua puluh dua baru kerja”, balasnya datar. “Oiya, lo pasti galau ya karena rencana lo mau nikah muda? Umur dua puluh empat? Hm...itu berarti dua tahun lagi ya? Wah, gimana tuh pi?”, Pengen ngejitak Fahmi rasanya.
“Err...mulai deh! Ini gue heran deh sama lo, Mi. Yang pengen nikah siapa yang heboh siapa?”, kataku tak terima.
“Ya gue sebagai temen ngingetin lo aja pi, deadline lo makin deket”, jawaban yang cukup beralasan.
“Tapi juga nggak hampir tiap saat lo ngingetin gue mulu kali; ‘dua tahun lagi, dua tahun lagi’. Kan udah dibilang, target nikah umur dua puluh empat! Berarti deadline-nya pertengahan tahun 2016, sesaat sebelum gue berulang tahun ke dua puluh lima. Itu berarti masih tiga/empat tahun lagi”, aku menjelaskan argumenku.
“Eh, nggak bisa begitu dong! Pas umur dua puluh empat lo kudu nikah pokoknya. Lagian, lo kenapa jadi moderat begini deh. Kemarin kayaknya semangat banget mau nikah umur dua puluh empat. Pasti gara-gara keseringan jalan sama traveler yang kebanyakan belum atau menunda pernikahan karena masih menikmati hidup(kesendirian)nya buat traveling ya?”, dia sepertinya tidak mau mendengar argumenku dan malah melayangkan sebuah protes.
“Lah namanya juga rencana, Mi. Gue tetep berencana buat menikah pas umur dua puluh empat tahun. Tapi dengan perhitungan jatuh tempo target seperti yang udah gue jelasin tadi”, sebenarnya rada mikir juga sih pas denger protesnya Fahmi. Apa iya kekukuhan niatku untuk menikah muda mulai goyah? Hanya karena aku suka jalan-jalan, lalu bertemu dengan teman-teman seperjalanan yang memang kebanyakan masih betah melajang, bahkan di usianya yang sudah sangat matang. I don’t think so. Aku tetap memiliki target untuk menikah muda, cuma tidak mau memaksakan rencanaku itu. Bukankah Tuhan lebih tahu yang terbaik buatku?
“Emangnya apa sih yang bikin lo niat banget mau nikah muda?”, Fahmi malas mendebatku lagi, dia membuka pertanyaan baru.
“Gue pengen memperkecil jarak usia gue dan anak gue. Gue pengen bisa jalan bareng anak gue. Dengan perbedaan umur yang nggak begitu jauh, gue berharap bisa jadi orang tua sekaligus temen buat anak gue. Jadi, kami bisa hangout bareng deh!”, aku tersenyum lebar mengakhiri jawabanku –it’s kinda cute everytime i imagine to go out together with my children.
“Nah, lo sendiri berapa tahun lagi sih?”, giliranku melemparinya pertanyaan.
“Hm... enam atau tujuh tahun lagi mungkin?”, jawab Fahmi kemudian.
“Enam tahun lagi?”, aku berpikir sejenak. “Wah, pas banget tuh Mi. Enam tahun lagi adek gue lulus kuliah dan siap menikah!”, sambutku bersemangat.
“Err...”, Fahmi menunjukkan raut muka bingung.
“Kemarin lo kan bilang, mau ngejodohin Viya sama Riza. Enam/tujuh tahun lagi berarti adek lo kelar sekolahnya, karir Riza udah mapan. Bisalah kalo mereka menikah. Jadi, Riza sama adek lo, lo sama adek gue. Ah, enam/tujuh tahun lagi kita jadi satu keluarga, deh!”, aku begitu bersemangat mengutarakan ide cemerlangku itu. Viya, adik Fahmi, suka dicing-cengin mau dijodohin sama Riza, teman kami.
“Serah lo deh pi!”, balas Fahmi singkat lalu membalikkan badan dan menarik selimut membenarkan posisi tidurnya.
“Eh, kalo udah gitu ntar gue sama siapa dong?” hanya Tuhan yang mampu menjawab pertanyaanku.
PS: Siapa bilang pillow talk itu cuma punya cewek! Cowok jomblo ganteng dan unyu keceh badai macam kami juga bisa loh ngobrolin hal personal sebelum tidur. Meskipun obrolannya (kadang) terkesan ngawur :|
***
Pukul 04.00 pagi kami sudah berada dalam mobil yang melaju menembus pagi menuju desa Sembungan, yang diklaim sebagai desa tertinggi di pulau Jawa berada pada ketinggian 2000mdpl, untuk mengejar sun rise di bukit Sikunir. Mobil cuma bisa mengantar kami sampai di parkiran dekat Telaga Cebong. Selebihnya kami harus trekking selama kurang lebih tiga puluh menit menuju puncak bukit Sikunir. Tepat sebelum matahari keluar dari peraduannya, kami telah berhasil mencapai puncak. Pemandangan alam Dieng Plateu yang hijau ditingkahi kabut magis diterpa sinar kekuningan mentari pagi yang perlahan naik dari balik Gunung Sindoro-Sumbing yang menjadi latarnya. It was so amazing! Kami pun menikmati pagi di puncak Sikunir sambil menyeruput teh hangat kami :)
credit to @SAFahmi
***
Aku, Sandi, Tezo, Etna, dan Ipin, kami berlima duduk melingkari meja bundar. Kami mulai membahas kelanjutan hubungan Vicky Prasetyo dan Zaskia Gotik menuju jenjang pernikahan yang sakinah, mawadah, ...
“CUT!”
“wa rahmah...”, glek! Adegannya salah.
“Oke, kita mulai dari awal. Camera stand by, roll and... ACTION!” #take235
Pagi itu sepulang menikmati matahari terbit dari puncak Sikunir, Bu Nur mengirimkan pesan singkat kepada Sandi untuk memberitahukan bahwa beliau telah menyiapkan sarapan untuk kami. Aku, Sandi, Tezo, Etna, dan Ipin memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu sembari menunggu giliran menggunakan dua kamar mandi yang masing-masing tengah dipergunakan Fahmi dan Erna untuk bersih diri. Berlima kami duduk di kursi-kursi yang mengitari meja makan bundar di ruang belakang lantai satu. Menu santap paginya PECEL LELE! Woo-hoo…
Nasi hangat, lele goreng yang krispi, sambal yang pedas, hm... lebih nikmat lagi kalau makannya ramean begini disambi ngobrol ngalur ngidul, MUAKNYUS!
Lagi asyiknya menikmati santap pagi, tiba-tiba Fahmi keluar dari kamar mandi di sebelah ruang makan dengan hanya berbalut handuk di pinggang.
“CUT!” adegannya bisa mengundang kemarahan FPI.
“Oke, kita mulai dari awal. Camera stand by, roll and... ACTION!” #take236
Pagi itu sepulang menikmati matahari terbit dari puncak Sikunir, Bu Nur mengirimkan pesan singkat kepada Sandi untuk memberitahukan bahwa beliau telah menyiapkan sarapan untuk kami. Aku, Sandi, Tezo, Etna, dan Ipin memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu sembari menunggu giliran menggunakan dua kamar mandi yang masing-masing tengah dipergunakan Fahmi dan Erna untuk bersih diri. Berlima kami duduk di kursi-kursi yang mengitari meja makan bundar di ruang belakang lantai satu. Menu santap paginya PECEL LELE! Woo-hoo…
Nasi hangat, lele goreng yang krispi, sambal yang pedas, hm... lebih nikmat lagi kalau makannya ramean begini disambi ngobrol ngalur ngidul, MUAKNYUS! #dejavu
Lagi asyiknya menikmati santap pagi, tiba-tiba Fahmi keluar dari kamar mandi di sebelah ruang makan. Bajunya belum ganti, tapi rambutnya basah. Dia menggosok-gosok handuk ke kepalanya berharap rambutnya lekas kering dan kemudian dia diajak main iklan shampoo. #ngaco
“Wah, Fahmi mandi? Beneran mandi? Ada heater-nya kan ya?” Etna kepo.
“Iya, Na. Tapi nggak pake heater”, sahut Fahmi.
“Serius? Nggak dingin apa?”, Sandi ikutan kepo, meskipun pertanyaanya retoris.
“Yup. Nggak dingin banget kok. Seger... Malah pas mandi badan bisa ngeluarin asep. Cobain deh”, celoteh Fahmi bersemangat. Tapi, kami meragukan cerita Fahmi itu. Bisa aja kan itu jebakan betmen. Siapa tahu Fahmi tadi cuma basahin rambut buat akting mandi. Terus ntar pas kita mandi beneran bakal membeku karena airnya yang dingin.
Wuss... angin berhembus perlahan. Fahmi melenggang pergi, kami berlima melanjutkan makan.
“Eh, aku mandi duluan ya”, aku menandaskan piringku dan meninggalkan ruang makan lalu menyusul Fahmi ke kamar.
“Mi, serius airnya nggak dingin?” Oke, sekarang aku yang kepo.
“Dingin sih dingin, tapi sensasi badan lo ngeluarin asep itu yang wajib lo coba”, Fahmi berusaha meyakinkan.
Usai mengalungkan handuk di leher dan membawa serta peralatan mandiku, aku menuruni tangga, berjalan ke arah kamar mandi di sebelah ruang makan tadi. Aku mengunci pintu dan mulai melolosi pakaianku satu per satu. (Plis, jangan bayangin yang enggak-enggak!!!)
Aku menyalakan heater. Mengarahkan selang air dari mesin pemanas ke ember besar penampung air. Aku mulai memegang gayung. Aku bingung. Sementara air hangat yang mengalir dari selang itu telah memenuhi ember sampe tumpeh-tumpeh~ Aku pun mematikan heater dan mulai mengguyurkan segayung air dingin dari bak mandi.
“It’s fine”, batinku saat air dingin menjalari sekujur badanku. Aku coba segayung lagi. Test drive pertama dan kedua aku merasa baik-baik saja. Jadilah guyuran-guyuran selanjutnya aku mandi dengan air dingin itu. Pada akhirnya air hangat dalam ember besar tadi tak tersentuh olehku.
Sedang asyik nyabun menyabuni seluruh tubuh, kabut tipis menjelma di sekelilingku. Aku pikir itu asap yang mengepul dari seember besar air hangat di sebelahku atau mungkin itu kabut dari luar yang masuk ke dalam kamar mandi melalui celah ventilasi? Tapi kok aneh, kenapa kabut itu menebal tiap kali aku mengguyurkan air dingin? Ah, atau jangan-jangan benar seperti kata Fahmi tadi?
Aku mengambil segayung air dingin. Aku melangkah ke sudut kamar mandi, menjauhi ventilasi dan ember air hangat itu. Lalu aku menyiramkannya ke tubuhku. Byuur! And it’s happening! TUBUHKU BERASAP! Pori-pori kulit tubuh mengeluarkan asap seperti hembusan uap air dari mulut saat kita bernapas pada lingkungan yang bertemperatur dingin. It was really amazed me. Bukannya mempercepat mandi, aku malah bolak-balik menghampiri bak mandi, mengambil segayung air dingin dan kembali ke sudut lain kamar mandi kemudian mengguyur diri di sana untuk menikmati mandi asap. Jadi, SELAMAT MENCOBA! ;)
***
TIPS!
  1. Buat jomblowan/jomblowati segala level, daripada galau mending kemasi ranselmu, pergilah melihat dunia! Traveling ramean bareng temen-temen memang itu tidak akan mengubah status jomblomu, tapi setidaknya kamu tidak merasa sendiri.
  2. Jenis penginapan murah bukan cuma hotel atau hostel, tetapi ada homestay yang juga tidak mau kalah murahnya. Kalau mau menginap di homestay mending minta saran/rekomendasi dari temen yang sebelumnya udah pernah menginap di situ. Biasanya kita bakal dapat potongan harga karena ngaku-ngaku dapet rekomendasi dari si X yang dulu pernah menginap di situ. Apalagi kalau si X kita ajak sekalian, dijamin bakal dapat pelayanan yang menyenangkan.
  3. Jangan takut mandi sama air dingin, di Dieng.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain