Langsung ke konten utama

jalan jalan pertama: Suwarnadwipa



Nggak berasa, udah 7 bulan aja gue tinggal di Padang. Rasanya, udah kayak rumah sendiri, meskipun gue sadar –dan kadang masih suka mengeluh, atas keterbatasan yang ada di sini. Beberapa temen yang gue ceritain tentang kehidupan gue di Padang rata-rata ekspresinya sama,”Serius? Masa nggak ada? Kan padahal ibu kota provinsi ya?”.


Padang memang belum semaju Medan atau Palembang sebagai ibukota provinsi. Gue pribadi sih kadang kesusahan nyari item tertentu yang dulu sewaktu di Jakarta gue tinggal ke minimarket atau ke mal yang kayak-kayak semuanya ada. Kalau nggak gitu, buat ngedapetin barang A gue harus ke toko X, buat dapetin barang B gue harus ke toko Y, jadi kayak nyebar ke mana-mana gitu, belum nemu satu tempat yang bener-bener serba ada dengan ragam barangnya yang lengkap. Tapi ini bagus sih sebenernya, jadi kan guenya nggak main ke mal mulu hehe Malah bikin gue jadi banyak bersosialisasi karena harus nanya orang lokal dulu kalau mau ini itu. Secara minim info yang bisa kita dapet dari internet. Kalau udah gini, gue pasti langsung nyeletuk ’gue kangen Jakarta’.

Dan ketika akhir pekan lalu gue punya kesempatan buat berkunjung kembali ke Jakarta, I felt like: OMG... even on the way from the airport to the downtown i could feel the tense, the pressure for being in this capitol city! Siapa suruh datang Jakartaaaaa, mau pulang ke Padang lagi aja ~ hahaha Di Padang gue ngerasa hidup gue lebih selow, waktu bisa dimanfaatkan dengan baik –yang kalau di Jakarta sejam dua jam abis di jalan itu biasa, di sini banyak hal yang bisa gue lakukan dalam rentang waktu itu. Hamparan sawah, barisan pegunungan, langit biru awan berarak, dan ya pokoknya keindahan dalam kesederhanaanya Padang bikin hidup itu lebih... HIDUP.


Manusia mah emang gitu. Tapi pokoknya gue bersyukur banget sama Tuhan udah dikasih kesempatan  buat menjalani ini semua. Sebelum nanti kembali ke Jakarta untuk melanjutkan hidup, gue mau maksimalin apa yang bisa gue lakukan di Padang ini. Bagaimana kalau gue bagi cerita jalan-jalan gue selama di Padang ini?

Perjalanan pertama ini cukup impulsif.
Kelar matrikulasi, temen temen kelas pada pulang kampung atau at least back to Jakarta. Haha maklum kan baru tiga minggu di sini, jadi masih agak susah move on gitu dari ibukota –sekarang pun :| dan ini menyisakan lima sekawan termasuk gue yang memilih stay di Padang –kalau gue sih karena nggak mampu beli tiket pesawat haha secara tekor banyak di awal gue memulai hidup baru di Padang ini #malahcurhat. Daripada nggak ngapa-ngapain kan, secara anak muda yang kepo dan butuh penyegaran setelah minggu minggu berkutat dengan perkuliahan, modal iklan di instagram langsung kontek om-om tukang tripnya dan voila! Suwarnadwipa we’re coming!!! –FYI waktu itu tiap buka instagram objek wisata Sumatera Barat, munculnya tempat ini mulu, a brand new beach resort sekitar Padang.



We had a good time in here. Bener-bener melepas penat. Guling-guling di pasir putih, teriak-teriak seru naik banana boat, snorkeling di lautnya yang biru, sampai tangan gue kram waktu main kartu malem-malem #memalukan haha

***

Menuju Suwarnadwipa dari kosan kami di kawasan Limau Manis bukan hal yang mudah. Secara belum ada yang punya motor jadi mobilitas terbatas. Dan cara gampang yang kami tahu sebagai anak baru Padang adalah... NAIK TAKSI wkwkwk beruntung driver taksinya bersedia mengangkut kami berlima sekaligus. Lumayan kan biaya taksi selama kurang lebih satu jam perjalanan menuju dermaga Bungus kalau dibagi lima.

Iya, jadi sama tukang tripnya kami disuruh ke Bungus buat nyeberang ke Suwarnadwipa. Bungus sendiri berada di... Teluk Bayur sonoan dikit haha, ya waktu itu kami mah belum paham banget sama geografis Padang dan sekitarnya. Jadi naik taksi merupakan pilihan tepat karena cepat dan anti nyasar dibanding ngeteng naik turun angkot.

Pagi itu kami sudah sampai di dermaga pemberangkatan seperti petunjuk tukang tripnya. Rada bingung awalnya karena ternyata kami tidak ketemu dengan tukang tripnya melainkan diarahkan untuk menemui si anu si itu via telepon saja. Hmpff!

Lebih nggak jelas lagi setelah menyelesaikan pembayaran di loket, kami cuma diberitahu kalau kapal akan diberangkatkan dari pantai di belakang bangunan pos ini, nggak ditunjukin lewatnya mana, kapal yang mana. Meskipun begitu kami tetap melangkah tanpa kepastian melipir ke pantai, menuju kerumunan orang di bawah pohon. Nyampe sana (lagi-lagi) nggak jelas keberadaan crew atau orang trip yang mengurusi kami. Yekan secara open trip gitu kan biasanya terorganisir gitu kan. Yang ada kami disuruh naik boat yang akan segera diberangkatkan dengan jumlah penumpang yang hampir penuh itu. Kami nurut aja. Pas udah di kapal, barulah menyadari, kalau rame-rame di bawah pohon ini tadi adalah penduduk sekitar yang hendak membantu 'mendorong' kapal ini yang rupanya kepentok karang karena air surut. Ada kali 15 menitan lebih akhirnya dengan gotong royong warga sekitar, boat berisi 20-an orang ini berhasil mengambang agak ke tengah perairan yang lebih dalam sehingga mesin kapal bisa dihidupkan dan melaju menuju Suwarnadwipa! Horeee...

Belakangan saat di perjalanan menuju pulau kami baru tahu bahwa penumpang yang mengisi boat ini adalah rombongan dari Pekanbaru, Riau. Gue berasa jadi intruder :(



Setelah menempuh 45-60 menit mengarungi lautan, sampailah kami di Suwarnadwipa. Pas kapal merapat, gue keingetan arahan dari si tukang trip kalau nanti sampai sini kita disuruh menemui Bang Hen. Ah, setidaknya petunjuk yang ini lebih jelas. Gue merasa lebih lega karena bakal ada yang 'mengurus' kami. Gue udah excited banget mau guling-guling di pasir putihnya.

Turun dari kapal gue mau ngabarin si tukang trip kalau kami sudah sampai sekalian mau nanyain ini gue nyari Bang Hen nya di sebelah mana, karena di dermaga nggak ada yang menyambut kami. Kami hilang arah dan ternyata hilang sinyal juga... huwaaaaa

Akhirnya nekad langsung masuk aja ke resort nya, niatan mau nanya ke resepsionis. Tapi kosong. Yaudah nanya aja ke abang-abang yang lalu lalang bawa-bawa sprei. Menjelaskan ini itu dan cek database (confirmed!) barulah kami dipersilahkanlah untuk memasuki kamar. LIBURAN siap DIMULAI!!! YEAY

***










Terlepas dari koordinasi yang buruk antara agen tukang trip dengan pihak pengelola Suwarnadwipa, liburan gue di sini seru dan menyenangkan. Meskipun tergolong objek wisata pendatang baru, pelayanan yang diberikan sudah cukup baik dengan fasilitas pendukung yang memadai. Saat itu bahkan beberapa sarana prasarana masih dalam tahap pembangunan. Mungkin kapan waktu boleh dicoba berkunjung ke sini ya... :)

***

FUN FACT: meskipun kalau ke sini harus nyeberang naik kapal, tapi sebenernya Suwarnadwipa ini masih berada di mainland Sumatera loh... :D

***

PS: dua bulan kemudian gue berkesempatan mengunjungi Suwarnadwipa lagi dan sudah banyak perubahan. Sarana prasarana yang dulu masih dibangun sekarang sudah pada jadi dan bahkan pembangunan fasilitas pendukung lainnya masih terus berjalan. Yang bikin nggak asik adalah bagian melewati portal masuk ke pulau yang sebelumnya tidak ada. Jadi di ujung dermaga mau masuk kawasan resort/pulau ada portalnya gitu sekarang. Yang nggak berkepentingan (yang nggak bayar) dilarang masuk. Sebenarnya bagus sih sebagai kontrol wisatawan dan kebocoran 'retribusi'. Tapi kesannya jadi nggak asik aja, seolah membatasi akses. Mungkin penempatan portalnya yang kurang pas atau sebaiknya sistem akses masuk pulaunya lebih elegan dengan penyelenggaraan loket tiket masuk dilengkapi penjagaan yang baik tanpa perlu dipasang portal gitu :| #imo

BONUS:
Sore itu kami nimbrung rombongan dari Pekanbaru yang mengunjungi pulau Pagang, sepuluh menit naik boat dari Suwarnadwipa. Hanya saja kami harus membayar charge masuk pulau karena kunjungan ini di luar paket trip kami :( -kalau nggak salah ingat 25ribu/orang.

Meskipun memiliki cottage/penginapan yang tidak sebagus Suwarnadwipa, tetapi pasir putihnya lebih lebar dari bibir pantai dan lembut seperti bedak bayi. Banyak juga pengunjung yang snorkeling di sekitar pulau -kalau di Suwarnadwipa spot snorkeling di dermaga saja.



Komentar

  1. aku selama di padang malah belum pernah ke swarnadwipa hahaha #durhaka

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha iya gpp mas, masih bisa nanti dan tempat tempat lainnya :)

      Hapus
  2. Wah, seru ya. Coba keliling kota Padangnya uda. Dengan segala keterbatasannya. Padang nanti buat uda rindu loh. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyo da, udah berasa rumah sendiri sekarang da meskipun kadang masih suka bingung sama jalanan pondok haha

      Hapus
  3. Padang itu kota saya. Maksudnya kota asal. Tapi saya belum pernah ke swarnadwipa. Malah mendengar namanya baru-baru ini saja. Saya memang kurang piknik. Cantik banget ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyo uni, objek wisata baru di Padang nih uni. Minang maimbau uni pulang hehe :')

      Hapus
  4. wah masbro happy ternyata udh lama punya blog.. ayo ramaikan lagi dg petualangan2nya di Sumbar ahaha... :beer:

    BalasHapus
    Balasan
    1. huwaaa ada bro Bara haha kok bisa nyasar ke sini bung? jadi malu haha siap insyaAllah ditulis di mari cerita eksplor Sumbar nya, mana tau kan ada foto Bara juga kepajang hehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain