Langsung ke konten utama

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

Aku menikah tahun depan.
Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu?



Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan.
Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya.

“Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut
mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan.

#

Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersaing secara supportive. Kami saling berkunjung rumah untuk belajar bersama hampir setiap malam. (serius banget, belajar mulu wkwk)

Di luar jam sekolah pun banyak waktu kami habiskan bersama. Sabtu malam turun ke jalan bermain bersama anak-anak di lingkungan tempat kami tinggal. Hari Minggu jadwalnya nonton kartun, tapi terus jam 9 ada siaran pertandingan tinju :(
Nggak kurang akal, melipir ke persawahan atau sungai di belakang rumah sebelum dicariin ibu dipaksa disuruh tidur siang. Ah, kenapa ya dulu memilih kabur-kaburan menolak tidur siang? Lha, malah ngelantur.

Sore hari, sering juga kami sepedahan keliling desa melintasi daerah persawahan –hobi banget deh maen ke sawah. Daerah persawahan ini memang cukup berkesan karena kita bisa melihat Gunung Putri Tidur. Sebenarnya, itu merupakan rangkaian pegunungan yang dari jauh terlihat seperti sosok perempuan yang sedang berbaring. Di jalan persawahan ini juga, banyak cerita-cerita ‘menarik’. Pernah suatu kali, kami janjian bersama anak-anak lain untuk lari pagi selepas subuh. Acara lari pagi berakhir ambyar karena kami lari berhamburan setelah ada yang (mengaku) melihat penampakan hantu di jalan sekitar persawahan ini. HA HA HA! BUBAR!

Kebersamaan kami harus berakhir ketika akhirnya orang tuaku memutuskan pindah ke luar kota sewaktu kenaikan kelas 5. Aku bahkan tak sempat berpamitan padanya hingga kami pun benar-benar
hilang kontak.

Takdir menghubungkan kami kembali. Kami melipat jarak dengan berkomunikasi melalui korespondensi. Iya, nggak salah baca: KORESPONDENSI, saling berkirim surat wkwkwk. Seiring perkembangan teknologi komunikasi yang semakin mendekatkan kami, sempat tercetus ide untuk pergi ke SMA yang sama. Apa daya, orang tua belum mengizinkanku pergi jauh.

Lain waktu, kami membuat kesepakatan, untuk mendaftar kuliah dan mengikuti kursus persiapan masuk kampus kedinasan bersama-sama. Hari pengumuman pun tiba, dialah orang yang mengabarkan dan menemukan namaku di papan pengumuman, tetapi namanya sendiri tak ada di sana. Dia menyusul tahun berikutnya. Lulus dari almamater yang sama membawa kami dalam satu organisasi pemerintahan yang sama pula.

Menempuh pendidikan di tempat yang sama, bekerja di bawah payung organisasi yang sama, dan kami juga mempunyai kegemaran yang sama: fotografi, menulis dan jalan-jalan. Jadi, kadang nggak ketemu pun kita bisa tetap saling keep up dengan kehidupan masing-masing dari tulisan-tulisan maupun unggahan perjalanan yang kami bagi di platform blog atau media sosial lainnya.

Aku mengagumi persahabatan kami lebih dari sekadar persamaan-persamaan itu. Layaknya bintang, jauh berjarak tetapi aku tahu pasti keberadaannya di sana. Bahkan mungkin jaraklah yang memelihara persahabatan kami.

Pertengahan 2006, Sadam nekad naik bus sendirian selama lebih kurang 3 jam sekali jalan untuk datang mengunjungi rumahku. Itu pertemuan pertama kami setelah keluargaku pindah ke luar kota. I do appreciate it, bro!

Pertemuan-pertemuan berikutnya, kami lebih sering mengatur pertemuan di suatu tempat yang sekiranya tidak memberatkan salah satu pihak. Kami janjian ketemu di tengah, menempuh sekitar 45 s.d. 60 menit perjalanan dari rumah (kota) masing-masing. Kami menghargai setiap pertemuan-pertemuan, memaksimalkan waktu dengan bertukar pikiran dan melakukan aktivitas barengan. Kami memang tidak bertatap muka sehari-hari dan mungkin tidak benar-benar saling tahu kehidupan masing-masing. But, we can get along well sehingga setiap pertemuan kami terasa berkesan. Banyak cerita yang saling dibagi dengar atau sekadar obrolan ringan merencanakan sebuah perjalanan. Konon, sifat asli seseorang akan terlihat saat kita mengajaknya naik gunung atau melakukan sebuah perjalanan.

Juli 2014, kami road trip Semarang – Solo (Karanganyar) – Yogyakarta. Ngeteng! Ketemu di Semarang, perjalanan berlanjut dengan naik turun berbagai moda transportasi umum. Alhasil, Sadam ketiduran pas malam pergantian hari ulang tahunku –yap, it was my birthday getaway. Besoknya, Sadam yang (masih) mengantuk menolak gantian nyetir motor Yogyakarta – Magelang pergi pulang –mungkin sebagai bentuk penebusan dosa. Wkwkwk

April 2016, we went to Ho Chi Minh for short vacay. Ada kejadian lucu, pemandu walking tour mengira kami adalah sepasang kekasih WKWKWK. I don’t even know why they think that way. Tapi trip ini melahirkan kebiasaan baru bagi kami, hangout and having discussion over coffee.

Agustus 2017, kami touring keliling Sumatera Barat. Kali ini kami gantian nyetir motornya, kok. Meskipun aku nggak bisa ngebut ya, hehe –since I was the host, so I tried to explain everything while
riding.

September 2018, traveling ke Kamboja! Jogging bareng pagi-pagi di Phnom Penh dan bersepeda keliling Siem Reap, seperti membawa kembali kenangan masa kecil kami.



Begitulah perjalanan-perjalanan (hidup) yang telah kami tempuh bersama, he’s always being considerate to me and I try to do so. Alhamdulillah, kami jarang berkonflik. Diskusi dan pemecahan masalah juga jadi lebih mudah disepakati.

#

Sadam sendiri pun sudah melakukan banyak perjalanan. Bahkan tak jarang melakukan solo traveling. Berbagai tempat telah dijelajahinya, dari padang savana di Nusa Tenggara Timur hingga hamparan salju di Iran, atau dari pantai-pantai cantik di Indonesia sampai kota-kota unik di Jepang. Dia mengakrabi air. Ada pantai atau air terjun, susah rasanya kalau nggak nyebur.

Jadi teringat kunjungan kami ke Kuang Si Waterfall dua tahun lalu. Waktu itu aku, Sadam, dan Fahmi
nge-trip bareng ke Luang Prabang, Laos. Sadam tak dapat menahan diri dan nyebur ke salah satu kolam alami berair biru di sana. Keesokan paginya, Sadam mulai bersin-bersin dan daya tahan tubuhnya melemah pada hari-hari berikutnya. Akhirnya, saat kami transit di Kuala Lumpur sebelum kembali ke Jakarta, dia masuk rumah sakit! Cek ke laboratorium, dikasih obat dan (Alhamdulillah) bisa rawat jalan.

“Apa gara-gara pipis pas lagi nyebur di Kuang Si ya, jadi sakit begini?”.
ASTAGAAAAAAWKWKWKWK

#

16 November 2019

“Je, muka tegang amat”, selorohku saat menemuinya di ruang rias sebelum akad digelar.

“Iya, ya?”, kegusarannya jelas terlihat.

“Coba tarik napas dalam-dalam”, dia tampak abai, pikirannya melayang. Sesekali ku melihat bibirnya
komat-kamit. Aku tergelak ketika mendekatkan telingaku dan mendengar apa yang dirapalkannya.

“Kamu hafalan akad? Hahaha Iyadeh, pokoknya apa aja yang bisa bikin kamu lebih tenang”, aku
memang tak pandai menenangkan orang.



#

“Terima kasih banget, ya!”, katanya padaku saat aku pamit pulang. Kami berpelukan, erat. I was so overwhelmed with happiness that made me speechless. I couldn’t say anything but “congrats”. Padahal sepanjang pagi aku merasa ada kupu-kupu terbang di perutku, saking excited-nya.

Akhirnya aku bisa pulang dengan tenang. Ku bisa melihat wajahnya yang berseri, senyumnya yang terkembang selepas akad (dan seterusnya). Selamat menempuh hidup baru, sahabatku. Kamu nggak perlu khawatir bakal nggak bisa jalan-jalan setelah menikah. Perjalananmu baru saja dimulai. You can go anywhere you want and now you have the best companion.


#

“Eh, ini Happy ya? Wah, sudah besar sekarang”, para tetangga dekat kami dulu menyapaku saat
bertemu di acara resepsi pernikahan Sadam. Seperti yang sudah bisa ditebak, pertanyaan berikutnya
adalah…

“KAPAN NYUSUL?”

Komentar

  1. Wah memang menikah bisa bikin galau karena kesenangan jalan-jalan gak jelas gak semudah itu dibagikan kepada orang terdekat kita, apalagi belum tentu memiliki kesenangan yang sama. Bahkan kesenangan yang sama juga belum tentu memiliki cara yang sama dalam menikmatinyaa. Tapi semoga sahabatmu tetap bisa kesenangannya jalan-jalan. BTW dulu sekolah kedinasan? Dimana?
    Satu lagi: KAPAN NYUSUL?? wkwkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut saya menikah merupakan tahapan dalam hidup, sementara traveling/jalan-jalan merupakan 'kesenangan' hidup. tidak secara langsung saling meniadakan.

      kami dulu bersekolah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara,

      Salam kenal,

      Hapus
  2. "KAPAN NYUSUL?"


    Wow.. tulisanmu berkembang banget, nda. Bagus. Terus menulis, terus berkarya. Semangaaat!

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih, Nda. aku malah merasa lebih produktif dulu wkwk
      kadang juga kalau baca-baca tulisan lama malah jadi amazed sama tulisan sendiri, kok bisanya dulu ku nulis begini.

      Kamu nanya kapan nyusul, nggak ku undang lho ya wkwk

      Hapus
    2. Nggak tau ya, lebih suka aja yang sekarang tulisanmu. Mungkin selera.


      Nggak apa-apa. Aku sih nggak diundang juga tetep dateng..

      Hapus
  3. Menikah itu langkah besar menuju perjalanan yang baru. Soal jalan-jalan, pastilah ada pengalaman baru nantinya.

    BalasHapus
  4. jadi penasaran siapa pencetus pertanyaan "KAPAN NYUSUL?".. Kalau ketahuan pasti banyak yang nyerang wkwk..

    -Traveler Paruh Waktu

    BalasHapus
  5. tetangga atau kerabat sih biasanya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia