Langsung ke konten utama

Oktober Fantastis (serial) - eps 6 - Wajah Melayu



25 Oktober 2012

“Menurut lo gimana em?”

“Kalo gue sih mending kita cabut cari penginapan lain yang lebih murah”.

“Tapi kalo kita harus muter-muter cari penginapan bisa-bisa siang nanti kita baru bisa mulai jalan”.

“Ya makanya kita nyarinya sekarang aja di sekitaran sini, biar nggak kesiangan”.

Kami duduk berdua menghadap ke jendela kaca yang besar di lobi lantai tiga dekat kamar penginapan kami. Sambil menikmati lalu lalang kendaraan dan aktivitas manusia di jalanan pagi hari itu, kami mendiskusikan di mana kami akan menginap malam ini. Jujur aku sudah merasa cocok dengan penginapan ini. Rate-nya cukup masuk akal sekalipun masih tergolong di atas rata-rata. Sementara Fahmi, dia lebih perhitungan daripada aku. Dia mantap berpegang pada penggunaan prinsip ekonomi salah kaprah, bermodal sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Jadilah sekitar pukul delapan kami meninggalkan Ribbon Stayyz dan mulai marathon keluar masuk penginapan murah di seputaran Petaling sebagaimana yang direkomendasikan guide book perjalanan kami. Cari yang paling murah!


“Is there any vacant room?”, pertanyaan pertama, tentu kita harus menanyakan dahulu apakah masih ada kamar kosong.

“Yes”

“What room do you have? We need a room for two”

“We have some rooms left in the second and in the third floor, but the bathroom is outside”

“How much is cost?”, pertanyaan kedua, langsung aja deh tanyain harganya. Nggak mau kan terjebak situasi di mana kita udah nanya ini itu tapi pas belakangan baru nanya harganya dan ternyata mahal, kan kita bakal malu kalau nggak jadi ambil kamarnya. #tips

“It’s RM35 per room a night. But we’ll give you RM30 per room a night since you have  Melayu faces.” Fahmi, lo harus terima kasih sama wajah Melayu gue!

“Can we see the room first?”

“Just check them out yourself, here the keys”

Akhirnya kami pun mengambil kamar di ujung lorong lantai tiga. Kamar pojok yang berisi sebuah single bed dan sebuah kasur tingkat, meja kursi, kipas angin, juga jendela dengan pemandangan ‘pasar’ Petaling. Ada dua kamar mandi di ujung lain koridor lantai tiga dan sebuah wastafel di depan tangga. Hm, sebenarnya penginapan ini bisa dibilang spooky loh. Bangunannya sebagaimana umumnya bangunan tua di kawasan pecinan, ruko bertingkat yang saling berhimpitan, cat tembok yang mengelupas, jendela berterali besi yang mulai karatan, engsel pintu yang berderit ketika dibuka atau ditutup. Tapi peduli setan, yang penting kami punya tempat tidur malam ini, murah lagi! Aku tak habis pikir kenapa bapak-bapak keturunan India pemilik penginapan ini memberikan potongan harga. Apalagi alasannya karena kami orang Melayu.

Sebenarnya dia juga bilang sih kalau di sini cewek cowok tidak diperkenankan menginap dalam satu kamar. Apalagi dari rumpun melayu dan muslim. Bisa jadi kalau kami menyamar jadi perempuan muslim yang berhijab diskonnya jadi tambah besar! #yakali

*** 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain