Langsung ke konten utama

Melipir ke Pesisir Selatan: Painan - (Onde) Mandeh



Painan - Pesisir Selatan, Sumbar | foto: dok. pribadi

 
“Besok ke Painan, mau join?”

Gue yang mulai kepo sama Sumatera Barat pasti nggak bisa menolak ajakan seperti ini. Kapan lagi?
Ternyata temen di kos sebelah mau jalan nemenin temennya yang kebetulan lagi dinas di Padang. Lumayan nih, nambah perbendaharaan tempat menarik di Sumatera Barat bonus dapat teman baru.

Pagi banget kita udah meluncur. Maklum, jarak tempuh Padang-Painan bisa sampai 3 jam-an. Setelah cari sarapan di pasar, melipirlah ke pantai Carocok Painan. Sebenarnya yang menarik di sini adalah dermaganya dan Pulau Cingkuak yang terletak di seberangnya. Tapi mumpung
masih pagi dan pengen mengunjungi tempat lain, jadi kami sudah cukup puas dengan foto di tepi pantai dengan barikade batu pemecah ombaknya.

Landmark pantai Carocok Painan, sekarang pelataran tanah itu sudah diaspal | foto: dok. pribadi

Pantai Carocok Painan, Pesisir Selatan Sumbar | foto: dok. pribadi

Destinasi berikutnya adalah Puncak Bukit Langkisau, masih di seputaran Carocok – Painan juga. Jalanan menanjak yang curam membutuhkan kehati-hatian ekstra dalam berkendara. Pas sampai di atas, bakal kebayar sama pemandangan yang luar biasa. Mau tahu cara lebih seru menikmati pemandangan di bawah sana? Paralayang! Ya, kita bisa bermain paralayang dari titik tertinggi ini, bermanuver di ketinggian sambil melihat panorama sekitar. Bayarnya 300ribu sekali jalan –bayarin dong! Baru pernah sekali maen paralayang di Umbul Sidomukti Semarang. It’s worth it! Pengalaman yang memacu adrenalin bisa jadi sesuatu yang berharga dalam hidup bukan? #halah

Dari Painan balik arah menuju Kawasan Wisata Bahari Mandeh. Kyaaa...

Jadi beberapa waktu sebelumnya Presiden Jokowi datang ke sini meresmikan proyek pengembangan kawasan Mandeh ini lho... dan, orang sini sih bilangnya si Mandeh Mini Raja Ampat* –pake tanda bintang syarat ketentuan berlaku. Haha iya, di Mandeh ini ada beberapa gugusan kepulauan yang menjadi daya tarik wisatawan. Nah, gugusan kepulauan inilah yang kalau dilihat dari atas (katanya) mirip kayak gugusan pulau karang di Wayag, Raja Ampat. Kalau mau melihat panorama tersebut, kita harus naik ke puncak Mandeh. Tenang, bisa diakses dengan kendaraan kok. Malah pas kami ke sana sedang dalam proses pembangunan konstruksi jalan yang bakal memudahkan pengunjung yang datang.

Pelabuhan Mandeh | foto: dok. pribadi
Dalam perjalanan menuju dermaga Mandeh, mobil kami diberhentikan seseorang. Gue kira mau narik retribusi. Karena penampakannya yang garang macam preman, gue jadi deg-degan. Dia nyamperin jendela kemudi. Lalu ngobrol sama driver kami –yang untungnya orang Minang, dengan bahasa lokal yang kurang lebih intinya dia ngasihtau kalau sewa perahu di Mandeh itu mahal banget. Jadi dia nawarin persewaan yang (katanya) lebih murah di kenalan dia dan bakal nganterin kita berkeliling mengunjungi 3-4 pulau. Kenapa lebih murah? Karena dibilangnya kita hanya perlu membiayai pembelian bahan bakarnya saja. Sebenarnya driver kami sempat menyarankan untuk menolak saja tawarannya, tapi kami juga nggak tahu harga pasarannya berapa jadi nggak bisa ngebandingin apakah tawarannya itu lebih murah atau tidak. Terus akhirnya yaudah, ikut dia ajalah daripada ribet. Dia pun meminta salah satu dari kami turun dari mobil dan dia bonceng naik motornya buat beli bahan bakar. Mobil kami disuruh mengekor di belakangnya sekalian ditunjukkan jalan ke pelabuhan. MENCURIGAKAN.

Dalam hati gue gusar. Tapi kegelisahan itu hilang ketika kami sudah berada dalam kapal yang melaju menuju Pulau Setan.

Perjalanan ke Pulau Setan, Mandeh - Tarusan | foto: dok. pribadi
Namanya aja yang serem, pulaunya mah cantik bener! Pasir putihnya yang lembut sangat kontras dengan gradasi biru air lautnya. Nggak usah takut lapar, banyak warung yang menjajakan makanan dan tikar. Iya, akhirnya kami sewa tikar 10ribu/buah untuk digelar di bawah pohonan rindang tepi pantai sampai akhirnya malah tidur siang berjamaah :| saking nikmatnya suasana dibuai deburan ombak dan desir angin sepoi-sepoi. Meskipun susah sinyal, tapi pulau ini cukup ramai dikunjungi. Nggak luas tapi infrastruktur cukup memadai. Selain ada warung, tersedia juga toilet dan mushala. Mau maen air bisa sewa alat snorkeling atau banana boat yang tentunya harus membayar lebih.

Pulau Setan tak sehorror namanya | foto: dok. pribadi

menikmati keindahan Pulau Setan | foto: dok. pribadi

rental tikar, tiduran, lapar, jajan di Pulau Setan | foto: dok. pribadi
salah satu sudut Pulau Setan | foto: dok. pribadi
Puas menikmati pulau Setan, kami pun kembali naik ke kapal melanjutkan perjalanan. Udah excited banget bakal island hoping ke Pulau Cubadak dengan resort-nya yang menawan, Pulau Sironjong Gadang (besar) dan Pulau Sironjong Ketek (kecil) yang terkenal sebagai tempat cliff jumping!

Kapal terus melaju, mendekati pulau dengan deretan rumah-rumah kayu di bawah jajaran pohonan kelapa. Terlihat juga dermaga kayunya yang menarik. Sepertinya ini adalah Pulau Cubadak –kenapa gue menerka-nerka, entah guenya yang nggak denger atau emang bapak kemudi kapalnya nggak ngasihtau ini itu layaknya pemandu (tapi kan memang tugasnya kan mengendalikan laju kapal ya? HA!). Memang sedari awal kami sudah diberitahu bahwa kita tidak bisa bersandar di pulau ini karena pulaunya sedang ‘dikontrak’ bule Italia. Jadi memang kami sekadar lewat saja. Hmpft.

Pulau Cubadak ? | foto: dok. pribadi

Kapal terus bergerak menerjang ombak. Sampai tiba-tiba deru mesin berangsur menurun. Kapal bermanuver pelan. Melipir ke tepian. Dermaga sudah di depan mata. Lah?

“Kita balik ke pelabuhan?”


“Lho, kok udahan?”


“Pulau Sironjongnya yang mana?”

Pulau Sironjong ? | foto: dok. pribadi
Semua bertanya-tanya. Sampai akhirnya kapal merapat ke dermaga. Barulah nyoba konfirmasi ke si tukang kapalnya, tadi dia memang disewa untuk mengantarkan kami ke Pulau Setan aja. Kalau mau ke Sironjong, tadi kan udah ngelewatin. Karena berupa pulau batu, ya memang cuma dilewatin aja.

HELLAW ~

Pulaunya yang mana aja bapaknya nggak ngasihtahu. Tau-tau kita udah nyampe pelabuhan lagi. Udahnya malah ngasih tawaran lain ke Pulau Kapo-Kapo, tapi ya harus MBAYAR LAGI! Gue gondok.

WE’RE DECEIVED :(

“Udah yok, langsung ke Puncak Mandeh aja!”

Menikmati bentang alam Mandeh dari atas sini sambil duduk-duduk minum kopi, ngobrol ke sana ke mari, sejenak melupakan lara hati.

Puncak Mandeh | foto: dok. pribadi
Mandeh Mini Raja Ampat ? | foto: dok. pribadi
pasukan jalan-jalan | foto: dok. pribadi
FYI, di seberang parkiran puncak Mandeh ada semacam basecamp yang menawarkan paket perjalanan seperti oneday trip island hoping sekitar Mandeh dengan harga yang lebih masuk akal dibanding biaya dipalak ‘oknum’ tadi. Jadi mungkin tawaran ini bisa dipertimbangkan kalau mau ke Mandeh lagi.

Ya, begitulah. Sebuah cerita menjadi pembelajaran. Mengembangkan pariwisata hendaknya dibarengi dengan edukasi terhadap masyarakatnya sendiri. Bagaimana menumbuhkan kesadaran warga sekitar dalam mengelola dan memelihara sebuah objek wisata yang menjadi penggerak faktor ekonomi agar memberikan kesan menyenangkan dan menarik wisatawan untuk datang berkunjung kembali. Salah satunya dari sisi manusiawi dengan mengutamakan keramahan dan kearifan lokal yang murni sehingga memberikan kenyamanan tersendiri tanpa ada pengunjung yang merasa rugi atau terintimidasi.

Salam.

Dermaga/Pelabuhan Mandeh | foto: dok. pribadi
*off the record
Saat perjalanan turun dari Puncak Mandeh mobil kami berpapasan dengan abang ‘oknum’ tadi. Nampak dia duduk di belakang kemudi sepeda motornya membonceng istri dan anaknya. Dia yang menyadari keberadaan kami lalu berhenti, menyapa dan sedikit berbasa-basi. Rasanya campur aduk di hati.

Komentar

  1. Sabar ya.. Lain adat lain belalang, lain orang lain isi kepala nya :)
    Semoga blog nya di baca bupati Pessel Tq

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya semoga baca dan mengajakku terlibat dalam pengembangan pariwisata Pessel ya... aamiin ;)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain