Oro-oro Ombo Pendakian Gunung Semeru | foto: dok. pribadi |
Belakangan gue sering kepikiran
soal perjalanan dan kepenulisan. Dua hal yang udah jadi passion gue sampai sekarang. Entah mungkin gue lagi kangen
jalan-jalan atau ini efek kebanyakan tidur selama libur semesteran kemarin.
Jadi gue kepikiran, sebenarnya
apa yang gue cari dari perjalanan-perjalanan yang gue lakukan selama ini?
pada perjalanan...
aku menemukan diriku
aku mengenali diriku
aku menjadi diriku
Tahun 2011 gue mulai aktif nge-blog.
Hal yang waktu itu bikin semangat nulis adalah status gue sebagai mahasiswa
semester akhir pada program diploma yang gue ambil. Waktu itu gue
coba nyari aktivitas yang bisa mengasah kemampuan menulis gue biar bisa bikin tulisan deskriptif yang panjang lebar sebagai penunjang kepenulisan karya ilmiah tugas akhir gue.
coba nyari aktivitas yang bisa mengasah kemampuan menulis gue biar bisa bikin tulisan deskriptif yang panjang lebar sebagai penunjang kepenulisan karya ilmiah tugas akhir gue.
Dari hal sepele seperti waktu guedituduh beli bir tapi nggak bayar sampai jalan-jalan ke Bekasi aja (waktu itu
Bekasi belum ‘sejauh’ sekarang) gue tulis semua. Dari situ gue semakin terpacu
buat menulis sesuatu yang lebih menarik.
Gue keranjingan sama filmThailand. Kala itu film Thailand dengan genre komedi romantis sedang booming di pasaran, secara biasanya kan
orang tahunya horror Thailand aja. Dari satu film ke film lainnya gue jadi
makin kepo dan menggemari segala hal tentang Negeri Gajah Putih itu. Gue sampai
mempelajari budaya dan bahasanya. Hingga tercetuslah ide gila untuk mengunjungi
Thailand.
joining Mekong Delta one day tour | foto: dok pribadi |
Kenapa gue bilang ‘ide gila’? Mungkin
bagi sebagian orang pergi ke luar negeri itu adalah sesuatu yang mudah untuk
dilakukan. Nah gue mahasiswa biasa yang sekolahnya aja nyari gratisan masa iya
mau jalan-jalan ke luar negeri? Gue anggap ide itu sebagai angin lalu aja.
Meski begitu, gue mau-mau aja pas disuruh temen bikin paspor. ‘Udah, bikin aja
dulu’, begitu katanya. Gue mulai nabung dan riset tata cara bikin paspor. Pas tabungan
udah cukup, barulah gue bikin paspor. Yang penting gue punya paspor dulu.
Gimana ngisinya dipikir nanti.
Sambil menunggu kesempatan
mengunjungi Thailand, gue ngebolang murah meriah sama temen-temen ke Malang –ceritanya
belajar jadi backpacker gitu. Dari
perjalanan itu gue makin terobsesi untuk bisa ke Thailand dengan cara backpacker-an.
Hari demi hari berlalu gue masih
memupuk mimpi itu. Satu-satunya yang bisa gue lakuin ya terus menabung
sebanyak-banyaknya. Rada susah sih, secara uang saku dari bonyok juga
pas-pasan, yaudah akhirnya gue banyakin puasa dan mengurangi jatah makan jadi
sehari dua kali aja. Sambil membiasakan diri mengurangi ketergantungan terhadap
nasi. Kan katanya di luar negeri makanan pokoknya bukan nasi. –ini pemikiran yang lugu atau bego sih?
having breakfast at New Saigon hostel | foto: dok. pribadi |
Sampai akhirnya ada satu temen
yang bersedia nemenin gue ke Thailand. Nggak cuma itu, tiket PP Jakarta-Phuket gue
juga ditalangin dulu dan bisa gue ganti duitnya nanti pas tabungan udah
kekumpul. Gue semakin semangat nabung dan riset perjalanan ke Thailand.
Riset tentang Thailand mendorong
gue untuk melahap habis berbagai catatan perjalanan dari internet sampai
baca-baca guide book yang serius. Akhirnya
kalau ke toko buku pasti melipirnya ke bagian pariwisata –sampai sekarang juga.
Kepoin segala macam buku sampai majalah travel. Pokoknya jadi hobi banget sama traveling. Apalagi pas udah nemu dan
baca buku Naked Traveler series-nya Trinity, gue makin yakin traveling itu mungkin, bagi siapapun,
meskipun masih melekat stigma masyarakat yang menganggap jalan-jalan itu
kegiatan yang menghamburkan uang dan hanya si kaya yang mampu melakukan.
Well, i made it! Alhamdulillah, awal Maret 2012 gue berhasil
mengunjungi Thailand, seminggu penuh, overland
Phuket-Bangkok-Chiangmai PP. Naik turun angkutan umum, kelas ekonomi, beragam
moda transportasi, makan dan jajan semampunya –bertahan hidup dengan bekal abon
dari Indonesia. Total biaya perjalanan gue HANYA 2,7juta (1,2 juta untuk tiket
Jakarta-Phuket PP + 1,5 juta untuk biaya hidup selama di sana). Gue ngerasakeren banget. Haha
Ya, mungkin waktu itu gue belum
cukup memahami arti perjalanan itu sendiri. Sepertinya gue termasuk orang yang salah
paham terhadap pengertian backpacker
yang diidentikkan dengan perjalanan low
budget –yang sebenarnya tidak selalu begitu, di mana kita bisa pergi ke
sana kemari dengan duit seminimal mungkin. Makin sedikit pengeluaran dalam
perjalanan, terdengar semakin hebat.
I WAS.
Perjalanan backpacking Thailand gue waktu itu bisa dibilang sebagai misi
tersembunyi. It was like nobody knows,
bahkan teman kos sekamar sampai orang tua di rumah –kecuali beberapa teman yang
dari awal nge-support ‘ide gila’ itu.
Itulah sebabnya gue namain blog catatan perjalanan gue ini escaped-traveler.com, dari kata escaped
yang artinya kabur(kaburan). Sukanya jalan diam-diam. Tau-taunya udah muncul
aja foto perjalanannya di media. Haha
Nah, beberapa dokumentasi perjalanan
gue yang ‘ketahuan’ publik akhirnya malah menginspirasi –atau bikin kepo, beberapa
teman dan pada nge-japri nanyain cara bikin paspor, gimana itinerary-nya sampai
habis budget berapa.
Pengalaman luar biasa bagi gue
tersebut menjadi booster gue untuk
lebih mendalami dan sekalian nyebur di dunia travel-blogging. Travel more,
write more.
Dulu orientasi perjalanan gue
adalah on budget luar negeri. Karena stereotip
tiket pesawat ke luar negeri lebih murah dibanding tiket pesawat domestik. All hail low cost airlines seperti Air Asia
–sebut merek aja berharap di-endorse
haha. Yang sampai sekarang pun masih setia menerbangkan gue ke beberapa negara
ASEAN –cita-cita menuntaskan kunjungan ke
negara-negara ASEAN, kurang dikit lagi nih, mohon doanya ya... :)
Saigon night city view | foto: dok. pribadi |
Namun pada akhirnya gue mengubah
pola pikir perjalanan gue, yang nggak hanya sekadar been there done that, tapi lebih dari itu, gue haus pengalaman dan
cerita baru.
Pas akhirnya sudah bekerja dan
hobi ini terus berlanjut, cara pandang gue terhadap sebuah perjalanan banyak bergeser.
Cara gue menyikapi dan menjalaninya juga berubah.
Makin ke sini gue makin
berkontemplasi dalam setiap perjalanan yang gue lakuin. Nggak semata tempat
yang menjadi tujuan, tetapi bagaimana proses perjalanan itu sendiri. Cerita dan
pengalaman yang mendewasakan membuka pikiran. Nggak sekadar sarana buat gue refreshing atau kabur dari rutinitas,
tapi juga pembelajaran akan hal baru yang ditemui sepanjang perjalanan.
Meskipun masih tipikal on budget, tapi gue sudah mulai
memperhatikan kenyamanan dan kecepatan dalam melakukan perjalanan. Hal ini
karena keterbatasan waktu jalan-jalan di sela rutinitas pekerjaan. Bagaimana
gue bisa ‘get away’ ke tempat baru
yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota, pergi dan kembali hanya dalam 2-3 hari dan
langsung masuk kerja. Bayanginnya aja capek :|
Makanya kadang harus susah payah nabung
cuti biar bisa maksimal travelingnya demi sebuah pembaharuan diri #azek
sore di Pulau Rinca, Komodo | foto: dok. pribadi |
Gue dulu sempet nyesel kenapa gue
baru berkecimpung di dunia traveling pas kuliah semester akhir. Dan ketika
sekarang Tuhan memberi gue kesempatan untuk melanjutkan studi jauh di tanah
rantau, gue berusaha belajar dengan baik dan memanfaatkan waktu luang untuk
mengeksplorasi sudut-sudut bumi yang indah ini #sokiyee
Oh iya, jadi gue dulu sempat
keteteran menulis gitu kan. Apalagi pas udah punya tanggung jawab kerja begini.
Akhirnya gue minta pendapat ke beberapa kenalan travel blogger kenamaan yang juga sudah menerbitkan buku-buku
perjalanan, yang intinya lebih baik perbanyak dulu jalan-jalannya. Kalau
pengalaman sudah banyak, menulis catatan perjalanannya bakal lebih kaya
ceritanya. Gue pun mengikuti saran itu dan...nyaris kebablasan. Haha Jadilah
pada kesempatan kali ini gue berusaha untuk menulis kembali, mengisi blog dan
kekosongan hati (halah)
Danau Biru Sawahlunto | foto: dok pribadi |
Sebenarnya gue nggak benar-benar
absen menulis. Thanks to Instagram, dari foto-foto perjalanan yang gue punya,
gue bisa mendokumentasikan proses/cerita perjalanan itu sendiri -go follow @wijayarga ya hehe. Dan dari situ
gue juga belajar bagaimana sosial media bisa menjadi sarana promosi pariwisata.
Jadi gue semakin termotivasi untuk melakukan perjalanan dengan mengusahakan
hasil jepretan terbaik supaya nggak cuma bercerita, tapi foto perjalanan gue
bisa menginspirasi, memberikan informasi dan mendukung perkembangan pariwisata
setempat. Gue pengen bisa berkontribusi dalam bidang kepariwisataan yang
menurut gue bisa jadi faktor penggerak ekonomi yang potensial
Alhamdulillah, berkat campur
tangan Tuhan nggak cuma ngejar target mengunjungi negara-negara ASEAN, banyak
tempat-tempat indah dan menyenangkan di Indonesia yang telah dan akan gue
jelajahi. Dan gue juga berani bermimpi untuk melihat dunia lebih luas lagi,
mengunjungi surga-surga tersembunyi di penjuru bumi, memperkaya diri dengan pengalaman dan pembelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi -syukur-syukur memberi manfaat bagi orang lain. Semoga Tuhan meridhoi, aamiin...
Lubuk Hitam - Bungus, Padang | foto: dok. pribadi |
Bisa menghilang diam-diam (escape) emang enak selain bebas mau kemana tanpa perlu pertimbangan temen kita juga gak perlu merasa gak enak kalau harus tiba-tiba mengubah itinerary yang kita rencanakan...
BalasHapussetuju, gan. lebih impulsif dan spontan, lebih seru banyak kejutan :)
Hapusnice share,gan! finally i found what the meaning of your blog name tq
BalasHapusiyo, Uni. terima kasih lah mampir baca blog awak. semoga banyak juga cerita-cerita perjalanan di Sumatera Barat yang bisa ditulis di sini ;)
HapusAku terharu Bekasi dan bungkusan ikan asin mamaku jadi salah satu cikal bakal semua ini 😂😂 hahaha
BalasHapusHahaha iya, terima kasih ya Bekasi dan mamanya Acun... sebagai anak kos budiman susah untuk menolak gratisan :D
Hapus