Langsung ke konten utama

Inikah Rasanya... (1)

Day 1
Selasa, 20 Desember 2011

Hari ini cukuplah bikin saya excited karena saya dan rekan sekelompok saya akan mempresentasikan kebudayaan Dayak dalam mata kuliah Budaya Nusantara. Beberapa waktu belakangan kami memang sering kumpul bersama mempersiapkan karya terbaik kami untuk ditampilkan di depan kelas hari ini.

Jam 06.00
Bangun tidur kebiasaan mantengin layar ponsel, buka twitter, bacain mentions yang masuk. Paling salut deh buat Indra yang nge-tweet foto perisai dayak yang motifnya digambarnya sendiri.

"Baru jadi satu neh.. (ˇ_ˇ'!)" di bawah tweet ini tertera waktu pengirimannya, 5 hours ago (it means, Indra ngetweet ini sekitaran jam 1 dini hari tadi.



"Done \(´▽`)/" selang satu jam dari tweet yang sebelumnya, Indra nge-tweet lagi foto 2 perisai dayak yang telah selesai digambarnya. Berarti Indra begadang sampai jam 2 pagi?


Jam 09.30
Saya, Indra, Khoirul, Diaz, Dede, dan Aji sudah berkumpul di ruang D208 untuk melakukan Gladi Resik terakhir sebelum tampil. Hm, kami bertujuh sangat antusias untuk presentasi kami nanti. Bahkan dari hari-hari sebelumnya kami memang lebih banyak mempersiapkan diri untuk penampilan kami daripada penguasaan materi -saking antusiasnya. Kami pun membuat property presentasi kami dengan tangan kami sendiri bermodalkan skill kerajinan dan kreativitas yang kami punya. Hanya saja pas di gladi terakhir ini Diaz dan Dede bertukar posisi untuk penampilan Tari Perang yang akan mereka bawakan. Dede yang tadinya memperagakan sosok pemburu nggak tega melihat Diaz yang nampak bercucur peluh tiap kali menarikan sosok burung yang diburu dalam tarian perang itu.

but the show must go on...


penampilan kelompok Bali ini seru loh! tari kecaknya OKE punya!

Seusai penampilan penutup kelompok diskusi kebudayaan Bali, here we go... kami pun beraksi!


perisai, ikat kepala, dan tombak karya kami sendiri loh! | baju adat sama 2 perisai di kiri kanan boleh minjem gratisan :)

Pisang Goreng Pontianak selai sirkaya ini juga kreasi kami sendiri hehe | rasanya? jangan ditanya. haha

Bubaran mata kuliah Budaya Nusantara, suasana kelas pun riuh rendah dengan segala bentuk kehebohannya. Mulai dari berebutan mencicipi makanan khas kebudayaan dari presentasi kami tadi, sampai bergantian menggunakan property presentasi kami untuk dipakai dan kemudian bergaya sesuka hati di depan lensa kamera yang sengaja memang secara khusus dipergunakan untuk dokumentasi di setiap mata kuliah 2 SKS yang malah lebih terasa 'hidup' dibanding mata kuliah lainnya ini.

"thanks ya guys! totalitas kalian awesome! XD next project dimaksimalin lagi (y)" begitu tulis saya melalui 'kotak berbagi' dalam jejaring social media.

Hey, tak hanya sampai di sini ceritanya. Mau tahu? *scroll down
 

Sehari sebelumnya, Senin (19/12/2011), telah ramai diperbincangkan mengenai pencairan uang saku yang menjadi hak kami mahasiswa tingkat akhir di kampus tercinta ini. Ya, setiap mahasiswa di tingkat akhir ini mendapat jatah 'uang pulsa' IDR50,000/bulan yang diberikan setiap 3 bulan sekali (so, sekalinya ada penerimaan uang saku ini kami mendapatkan IDR150,000). Lumayan bukan?

Jadi, inikah rasanya...

Setelah memasuki tingkat akhir dan mendapatkan jatah uang saku seperti ini, rasanya apa ya? Semacam debaran kegembiraan yang terasa saat menaiki wahana-wahana di Dufan, mendebarkan namun penuh suka cita. Jadilah kami merajuk pada ketua kelas untuk segera mengajukan pencairan dana usai kuliah Budaya Nusantara ini dan berencana jalan bareng ke Plaza Bintaro setelah mendapatkan uangnya. Terlalu naive memang, tapi ya nggak memungkiri juga kan excitement kita ketika bisa jajan pakai uang sendiri hehe

tanda tangan berbuah duit hehe

Manusia boleh berencana, Tuhan jua yang menentukan.

Entah bagaimana ceritanya, tersisalah beberapa anak yang masih tinggal di kelas. Ada saya, Lundu, Bagir, Langun, Dicky, sama Nuzul, termasuk juga ketua kelas kami, Diaz. Diaz memang berencana akan mengembalikan surat dari pihak kesekretariatan yang telah ditandatangani anak-anak sekelas untuk memenuhi prosedur pencairan dana tersebut. Kami pun berjalan keluar kelas mengikuti Diaz menuju Gedung Kesekretariatan. Sesaat kami kehilangan jejak Diaz dan malah keasyikan mainan timbangan berat badan di depan Poliklinik yang juga masih satu gedung dengan bagian Kesekretariatan. Diaz pasti lagi menghadap bagian keuangan untuk mencairkan uangnya, pikir saya. Tak lama Nuzul pun pamit undur diri terlebih dahulu karena ada kepentingan lain.

Mungkin saking excited-nya kami yang mau menerima uang pencairan dana tersebut sampai segila ini becandaan ketawa-ketiwi mengomentari setiap teman kami yang coba mengukur berat badannya. Hari itu Dicky pemecah rekornya. Saat dia menaiki timbangan itu, jarumnya menunjuk ke angka yang tak kami duga. Haha, tak perlu disebutkan lahya berapa kuintal beratnya #eh

Lagi seru-serunya bersenda gurau, Diaz muncul dari arah dalam lobby kesekretariatan. Ada sedikit gurat kekecewaan di sana. Kami pun menghampirinya. Tak kalah kusutnya muka kami ketika mengetahui bahwa uangnya tidak dapat dicairkan karena ada tanda tangan 2 teman kami, Khoirul dan Aji, yang dinilai sebagai paraf sehingga kurang menguatkan pengesahan atas surat pencairan dana itu. Padahal kalau menurut kami ya memang begitu bentuk tanda tangan kedua teman kami itu.

Karena sudah membayangkan hari ini pulang membawa uang yang sudah dijanjikan itu, maka kami pun keukeuh untuk mendapatkannya hari itu juga. Kami pun meminta Diaz menghubungi Khoirul dan Aji untuk menyusul kami ke sini untuk memperjelas semuanya sehingga uang dapat benar-benar cair hari ini. Sayangnya, dalam keadaan genting seperti ini mengapa kebanyakan dari kami ponselnya low bat atau bahkan mati. Saya, Bagir, Dicky, dan Diaz pun mengamini. Lundu, pulsa tak mencukupi. Ponsel Langun menjadi harapan terakhir kami, meskipun hanya dia yang bisa mengoperasikan trackpad-nya. Tapi ponsel Langun juga nggak ada pulsanya loh ternyata. Jadilah Diaz mengeluarkan simcard dari ponselnya dan mengaktifkannya di ponsel Langun. Voila! Khoirul dan Aji yang berhasil dihubungi segera datang menghampiri untuk menyelesaikan masalah. Begitu masalah terselesaikan, Khoirul dan Aji pun lebih memilih untuk segera kembali ke kosnya masing-masing. Kami, masih bertahan di teras Gedung Kesekretariatan.

Gemeteran juga rasanya megang 3 lembar uang berwarna dasar biru yang dihiasi gambar Pahlawan Nasional I.G. Ngurah Rai dengan senyum misterius ala Monalisa. Masih nggak percaya aja, akhirnya bisa juga punya uang sendiri. Kami tidak menilai dari nominal yang kami dapatkan, hanya saja ini benar-benar beda rasanya. Selama ini uang ya masih minta sama orang tua, sedangkan uang yang tengah kami pegang itu benar-benar murni punya kita sendiri. Keceriaan jelas tergambar di wajah kami. Tak ingin kehilangan momentum, segeralah kami mengabadikan kebahagiaan kami itu dengan kamera ponsel milik Lundu sambil bergaya memamerkan uang kami. (Jepret!) Security gedung pun tertawa kecil melihat tingkah kami.




Tak berhenti di situ, kami masih tetap pada rencana semula. Uang sudah di tangan. Ayo jalan-jalan... yeay!

Bergegas lah kami (saya, Diaz, Langun, Lundu, Dicky, dan Bagir) ke arah gerbang depan kampus untuk menunggu angkot menuju Plaza Bintaro. Karena kebetulan belum makan siang, kami berencana untuk makan bareng saja nanti di sana. Sesampainya di mal kecil tempat nongkrong paling standar bagi mahasiswa di kampus kami ini, kami berkeliling sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk makan di D'Cost Seafood yang gedungnya terletak di pelataran depan Plaza Bintaro.





Jangan ditanya lagi, tentu kami tak segan untuk memilih menu order yang tersedia. Secara udah punya duit sendiri kan? hehe Kami bersepakat untuk mengorder beberapa menu pilihan dan nanti total nilai yang harus dibayarkan akan kami tanggung bersama dengan membaginya berenam sama rata.






Tak butuh waktu lama bagi kami untuk melahap semua menu yang kami order. Bahkan tak lama setelah menu datang dan kami mulai bersantap, kami meminta refill nasinya. (Lundu porsinya di atas rata-rata, sekali ciduk setengah rantang nasinya lenyap) Haha ini nih yang bikin kenyang kalau ke D'Cost, nasinya satu harga dan bisa nambah tanpa harus dikenai charge lagi.

Kami sikat habis tak bersisa seluruh makanannya dan menenggak bergelas-gelas minuman juga. Benar-benar kenyang rasanya. Apa mungkin karena kekenyangan ini ya sampai-sampai niat saya membantu menghitung total masing-masing patungan yang harus dibayarkan malah jadinya bikin heboh sendiri karena saya salah hitung. Setelah melihat total nilai yang harus dibayarkan, saya mempergunakan kalkulator ponsel untuk menghitung membagi enam. Setelah masing-masing menyerahkan sejumlah uang yang saya sampaikan, total uang yang terkumpul belum mencapai total nilai yang harus dibayarkan. Masih kurang empat ribu rupiah. Lundu yang kepo berat bagaimana bisa uangnya kurang, padahal semua udah bayar, malah masih harus ngasih kembalian ke beberapa orang, tapi kok belum cukup. Setelah saya coba otak-atik ulang, ternyata saya tadi salah, harusnya nilai hasil bagi tadi dibulatkan ke atas, malah saya bulatkan ke bawah. Emanglah, kenyang bikin ngantuk! (ngeles) Case closed! 
Karena sudah kenyang, kembali kami berkeliling di Plaza Bintaro sekadar biar makanan turun kesaluran pencernaan, biar perut oke (?)

Tunggu kelanjutannya di hari kedua, ya!

Malam harinya, sempetin berkirim sms ke emak di kampung. Pamer duit IDR150,000 yang didapet tadi siang. Emak turut senenglah cenderung heboh malah. Tapi maaf ya mak, uangnya saya buat makan-makan. Hehe, ntaran deh kalo udah kerja ya mak, doain rejeki anaknya lancar dan halal. Amin :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain