Langsung ke konten utama

Inikah Rasanya... (2) part 1

Day 2
Rabu, 21 Desember 2011


06.20
Rasanya malas untuk beranjak dari kasur. Pagi ini bakal ada pengarahan Praktek Kerja Lapangan untuk mahasiswa Akuntansi di Gedung G. Saya pun melangkah gontai menuju kamar mandi, bersih diri biar wangi nggak lupa gosok gigi.

06.45
Penampilan udah rapi, rambut udah klimis, pakai sepatu dan bergegaslah saya jalan kaki menuju kampus. Padahal udah dijarkom sih sebenernya, kalau kami disuruh kumpul jam 06.30, tapi baca timeline kebanyakan temen kelas lain kok pada nge-tweet kalau acaranya jam 07.00 ya sudahlah saya ikutan yang jam 07.00 aja. hehe

07.00
Sesampainya di kampus, suasana masih cukup lengang. Masih ada yang belum masuk gedung. Belum mulai nih, pikir saya. Namun, saat memasuki gedung G, ternyata pengarahan sudah dimulai dan nampak teman-teman sudah duduk dengan antusias mendengarkan pembicara yang berceloteh di depan, sedang beberapa yang lain berdiri di belakang barisan bangku. Yah, rupanya banyak juga yang telat, nggak kebagian tempat duduk, jadilah pada berdiri, termasuk saya. Saya pun turut mendengarkan kuliah umum yang disampaikan, berusaha menyesuaikan diri dan mengejar ketertinggalan informasi. Tak lama kemudian dibuka sesi tanya-jawab. Lumayan, jadi makin cerahlah pemahaman saya tentang prosedur untuk Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini nanti.

07.17
Tiba-tiba forum diakhiri karena pengarahan yang diberikan sudah dirasa cukup dan memang gedungnya mau dipergunakan untuk acara lain sepertinya. Lah, kan masih 17 menit ini, pak! (Oh, pengarahannya udah dimulai dari jam 06.30 tadi ya? makanya kalau dibilang kumpul 06.30 itu ya datang tepat waktu -ngomong sama diri sendiri)

Massa pun membubarkan diri. Di tengah keramaian itu, datanglah SMS dari Rein:
from: Rein (+6285270xxxxxx)
Kau dimana? Kita bicara dulu kelompok kita..

Saat melihat ke sekeliling, saya berhasil menemukan sosok teman sekelas asal Medan itu. Saya pun menghampirinya. Jelas kegalauan di wajah kami, bukan karena apa, tapi mendengar pengarahan tadi kami jadi bingung bagaiaman nasib kelompok PKL yang telah kami bentuk. Mengingat tadi disampaikan kalau porsi anak Akuntansi yang ingin PKL di Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) maksimal hanya 4 orang. Padahal kelompok yang telah dibentuk terdiri dari 5 orang. Rein pun mengutarakan rencananya kalau dia ingin survey ke kantor BPKP yang sebelumnya instansi ini belum masuk daftar tempat PKL. Sebelumnya memang disampaikan kalau PKL nanti akan diadakan di kantor-kantor instansi seperti Kantor Pemerintah Daerah (Pemda) -khususnya di bagian Dinas Pendapatan Daerah, lalu kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan terkahir KPP yang dinaungi Direktorat Jendral Pajak (DJP). Namun Rein bilang, ada BPKP disebut dalam slide presentasi pengarahan tadi (Jelaslah saya nggak lihat, wong datangnya telat).

Rein pun menelepon Bagir untuk meminjam sepeda motornya. Setelah mendapat ijin, kamipun bersegera mengambil alih motornya dan tancap gas! Eits, tapi kami nggak tahu di mana itu kantor BPKP-nya. Rein hanya berhasil memperoleh informasi: "Kantor BPKP-Perwakilan, Jalan Hayam Wuruk 7". Jadilah Rein mengusahakan bertelpon ke sana kemari menanyakan informasi mengenai letak kantor BPKP yang ingin kami datangi. Tak mau kalah heboh, saya juga mencoba mengirim pesan singkat ke teman lain anak Jakarta, tempat saya biasa bertanya tentang tempat-tempat di Jakarta, semacam 'peta berjalan' lahya. hehe (ampun ka Vida ^^v)

Akhirnya, dari informasi yang masih terbatas itu kami nekad untuk mengemudikan motor ke arah Jakarta Pusat. Dugaan sementara sih kantor ini ada di sekitaran Jalan Gajah Mada, secara nama jalannya sama-sama nama jaman Kerajaan Tutur Tinular. Ya sambil jalan sambil cari info lagi lah. Saya pun mengambil alih kemudi biar Rein bisa mencari informasi tambahan dengan ponselnya.

Ini bukan kali pertama bagi kami untuk menjelajah Jakarta bersama dengan mengendarai sepeda motor, karena ini adalah yang kedua kalinya #krik. Tapi ini merupakan very the first time bagi saya berada di belakang kemudi dan memimpin touring kami pagi ini. Rada nggak yakin juga sih awalnya kalau ngebayangin padatnya lalu lintas ibukota ini. Mengingat kesempatan nggak datang dua kali, ya ayo deh!

Oiya, karena memang awalnya saya pikir hanya akan mendapat pengarahan dan berlanjut ke kuliah seperti jadwal biasanya, jadi saya nggak ada persiapan apa-apa untuk perjalanan kami ini. Dengan berpakaian seragam kuliah lengkap beserta Kartu Tanda Mahasiswa yang dikalungkan di leher, bermodal helm, tanpa mengenakan jaket dan sarung tangan yang sebenarnya nggak cukup untuk memenuhi safety riding, serta harga diri juga ketampanan kami (#eh) kami tetap bertekad untuk pergi.

Inikah rasanya...



Beruntung jalanan tak begitu padat kala itu. Saya pun cukup leluasa memacu skuter matic kecil berdesain ergonomis dari produsen dengan tagline "One Heart" menembus keramaian lalu lintas. Tak banyak waktu yang kami miliki. Jam 11 siang nanti ada kelas Komputer Audit. Praktis kurang lebih kami hanya punya waktu 3 jam agar bisa kembali ke kampus tepat waktu. Bukannya nggak mau terlambat, karena kami memang biasa terlambat masuk kelas, haha, tapi mulai minggu ini nih di mata kuliah audit komputer bagi siapapun yang terlambat masuk kelas bakal dikenai sanksi. Kalau nyanyi aja mah ayok! Paling jago lah kalau harus pasang muka tembok sambil koar-koar melantunkan nada-nada yang sama sekali jauh meleset dari nada dasarnya. Tapi, ini lain. Hukumannya disuruh menceritakan kisah cinta yang pernah dialami. Err... pikir-pikir dulu lah kalau mau cerita. Malu. Apalagi kalau sampai ceritanya tak seindah FTV. hihihi

Satu-satunya biang macet yang paling terkenal ya cuma Jalanan Sudirman-Thamrin. Tak terkecuali pagi itu, meskipun dari Bintaro lalu lintasnya ramai lancar, sampai Kebayoran padat merayap sampai akhirnya ikutan meluncur di atas trotoar, memasuki jalan protokol utama kota Metropolitan ini kemacetan tak dapat terhindarkan. Padahal di sisi jalan arah Kota ini pengerjaan gorong-gorongnya udah selesai loh, tapi kok ya masih seperti ini lalu lintasnya. Selepas Semanggi rupanya proyek gorong-gorong yang di sebelah sini masih dalam pengerjaan. Jalanan berlubang (dalam arti sebenarnya, benar-benar dibolong-bolong gitu aspalnya) bikin Rein ngeri, takut runtuh katanya. haha

Finally, here we are. Setelah lampu merah Harmony, memasuki Jalan Gajah Mada kami mulai melirik ke kanan-kiri mencari-cari kantor BPKP yang kami maksud. Tak berapa lama Rein teriak histeris di belakang sambil nunjuk-nunjuk ke arah jam 1. Benar rupanya, di badan atas gedung 4 lantai itu tertulis jelas nama dari bangunan itu: "Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi DKI Jakarta (BPKP-P)". Wajah kami pun berbinar, seolah meruntuhkan segala macam radikal bebas yang melekat di air muka kami yang sempat beberapa kali 'dikentutin' sama Metromini, Kopaja, dan teman-temannya di sepanjang perjalanan kami tadi. Rein paling takut kalau saya hendak banting setir saat akan mendahului angkutan umum itu, terlebih saat kendaraan itu menggeram hendak menyemburkan 'kentut'nya yang hitam pekat.

Kantor BPKP Perwakilan DKI Jakarta, Jl. Hayam Wuruk 7

Di kejauhan nampak rambu memutar balik arah, segera kami merapat ke kanan dan memutar lalu banting kiri dan sampailah kami di pelataran kantor BPKP itu. Setelah sempat bertanya ke security di dekat gerbang masuk, saya memarkirkan motor di parkiran dekat kantin. Rein menyusul ke parkiran usai bertanya kepada security tadi lebih lanjut di mana letak ruangan bagian umum kantor tersebut. Dari parkiran kami berjalan ke arah pintu masuk kantor ini. Sekilas saya lihat bayangan muka saya di kaca spion motor, lumayan, cukup berantakan! Saya usap sedikit muka saya dengan selembar kertas tissue yang tadinya saya niatkan untuk menyapu ingus.


"Masuk, ke lantai dua, terus ke kanan, ke kanan lagi..." Rein mengulangi petunjuk dari security tadi.


Begitu masuk ke dalam gedung, kami belok kiri,. Mumpung ada lift, ya kenapa nggak dimanfaatin? Biarpun naiknya cuma ke lantai dua ini. Maklum, di kampus nggak ada soalnya, hihi. Setelah menanyai orang yang lagi lewat di hadapan kami, kami pun diarahkan ke meja seorang bapak di sudut ruangan. Aneh bin ajaib! Begitu kami sampaikan maksud dan tujuan kami, bapak itu malah menginstruksikan kami untuk menemui bagian kepegawaian, padahal di survey kami sebelumnya dan secara umum ya biasanya di bagian umum ini. Hm, entahlah. Akhirnya, sesuai apa yang diberitahukan bapaknya, kami kembali ke lantai satu melalui tangga di balik pintu ruangan kerja itu, belok ke kanan, ke kanan lagi, dan menemui Mr. X.


Kami mengetuk pintu ruang kerja beliau dan memperkenalkan diri begitu kami dipersilahkan masuk. Berikutnya kami dipersilahkan duduk dan kembali kami menyampaikan maksud dan tujuan kami. Pembawaan bapak-bapak yang satu ini yang begitu 'santai kaya di pantai, selow kaya di pulow' sebenernya cukup bikin saya geregetan. Saat berusaha membangun suasana dengan menanggapi pertanyaan bapaknya, malah krik..krik..krik...

"Kalian tahu kantor ini pasti dari Pak Budi ya?"
"Err.. Enggak sih pak, kami bla..bla..bla..." Rein menjelaskan.
"Lha terus Pak Budi sekarang di mana?" Lanjut bapaknya.
"Di Manado, pak"
"Iya pak, di Manado" Jawab saya bersamaan dengan jawaban Rein selisih beberapa detik.
"Jadi apa di sana?" Bapaknya kepo yah hehe
"Jadi Kepala BDK gitu pak" Sahut saya.
"Bukan, jadi Pak Budi di Manado itu jadi kepala Balai Diklat dan Pelatihan di sana, pak" Rein menimpali. (Lah ini apa bedanya coba sama jawaban saya tadi?)
"Bapak dulu ST*N juga? Kok tahu Pak Budi?" Saya berusaha mengakrabkan diri.
"Hehe... Bukan, Saya bukan anak SETAN!" Jawab bapaknya sambil cengengesan, dengan penekanan di bagian kata SETAN, bukan ST*N.

Bapaknya masih selow aja lah menanggapi kedatangan kami. Masih sempet telponan, manggil pegawai lain ke ruangannya dan memberitahu kalau besok pegawai perempuan itu akan ditugasi sebagai petugas upacara memperingati Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember besok. Lalu udahnya malah ijin keluar ruangan sebentar. Hm, okelah. Sabar..Sabar...

Lalu bapaknya kembali masuk ke ruangannya, dan memberitahukan kami ini itu lalu kami menyambutnya begini begitu. Akhirnya ngobrol lah kami untuk beberapa saat. Saat semuanya jelas, maksud dan tujuan kami telah tersampaikan, kami pun menyegerakan diri untuk pamit undur diri.

09.22
Kembali kami ke garis start memulai perjalan kami kembali ke Bintaro. Kali ini saya meminta Rein yang mengambil alih kemudi. Rein lebih jago bawa motor dengan kecepatan tinggi, bisa menyelinap di kerumunan kendaraan yang terjebak macet, dan memang di perjalanan pulang ini saya berencana mengambil beberapa gambar di sepanjang perjalanan kami pulang. Itung-itung dokumentasi buat 'ditempel' di sini :)

Lampu merah Monas

arah jalan pulang lalu lintasnya cukup lengang


Bundarah Hotel Indonesia

Patung Sudirman


Jalanan makin siang malah lebih lengang, motor kami pun melesat bagai kilat. Tak berapa lama kami sudah sampai di kawasan Tanah Kusir dan hendak mengisi bahan bakar di SPBU terdekat. Karena masih ada sisa uang saku dari pencairan dana kemarin, jadilah saya bilang ke Rein kalau premiumnya biar saya yang bayar. Lagian pas survey yang dulu Rein udah bayarin, itung-itung gantian lah :)

"Pak, isi full tank!"

Pengerjaan gorong-gorong Sudirman yang tak kunjung usai


Jalur Cepat. Melaju di lintasan busway (tidak untuk dicontoh)
Belum ada jam 10, kami sudah berada di Bintaro. Karena masih ada sisa waktu sebelum jam kuliah dimulai, maka Rein pun mengajak untuk sarapan di warung langganan dekat kampus. Begitu perut sudah kenyang terisi, Rein menyerahkan kunci sepeda motor pada saya dan meminta untuk diantar ke kosnya saja. Mau mandi katanya. (Pasti mau mensucikan diri setelah tadi sempat 'dikentutin' metromini ya?) Setelah mengantarkan Rein kembali ke kosnya, saya pun segera mengemudikan motor ke arah kampus.

Lanjut ke part 2 ya... hehe

Komentar

  1. konyol mas.... onok ae kuliah telat suruh nyanyi.... kayak taman nak kanak ae..hahahahaha.....

    Priyo Edy ( kancil team soneta)

    BalasHapus
  2. haha iya, cukup memalukan bukan?
    tp nggak pa-pa yo, itung-itung menyalurkan hobi. hehe ^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain