Langsung ke konten utama

Backpacking Thailand: Intercut Short Stories III


Arai wa?!

3 Maret 2012

"Nam yen kha... gujes..gujes... Nam yen kha... gujes..gujes..." Begitulah suara asongan yang mondar-mandir menawarkan minuman dingin di dalam gerbong diselingi suara derap laju kereta api.
*nam = minuman; yen = dingin #LearnThai

Saya dan Indra sedang dalam perjalanan dari Bangkok menuju Chiang Mai. Kami mengendarai si kuda besi sebagai moda transportasi. Jangan dibayangkan kami tengah guling-guling di atas matras empuk sleeper train -jenis kereta api yang direkomendasikan untuk para traveler yang menempuh perjalanan jarak jauh. Karena masih dalam masa penghematan, kereta api express kelas tiga tentu menjadi pilihan.

***

Puas mengeksplorasi (baca: window shopping doang sambil ngiler dan geregetan menahan diri beli ini itu) MBK, kami pun segera mencari mushola untuk menunaikan Dzuhur. Salah satu fasilitas kebanggaan pusat perbelanjaan ini adalah tersedianya tempat sembahyang bagi para muslim yang hendak salat yang berada di lantai 6 dekat lapangan parkir. Terbukti dengan disampaikannya informasi tersebut dalam TVC MBK yang diputar berulang-ulang di sebuah layar besar terpampang pada salah satu sudut mal -padahal umumnya hanya menayangkan beragam tenant-tenant yang menjajakan produk terkenal.

Saya dan Indra meluruskan kaki sejenak begitu sampai di mushola yang cukup nyaman itu. Meski tak terlalu luas, namun cukup untuk mengakomodasi para muslim yang berniat salat. Gelaran Karpet yang menutupi seluruh lantai ruangan dengan sebuah meubelair tempat penyimpanan sajadah dan Al Qur'an juga tersedianya sebuah tempat wudhu dengan desain dudukan di depan kran airnya mengisi sudut-sudut ruangan. Meski letaknya berada di dekat tempat parkir, namun kita tetap masih bisa merasakan kesejukan saat berada di dalamnya, karena ketersediaan air conditioner yang setia menghembuskan ion-ion pendingin udara.

Lalu tak berapa lama datanglah seorang laki-laki muda kebapakan. Dia mengucap salam dan menyalami kami. Tak ada dialog lebih lanjut. Kami bergantian mengambil wudhu dan kemudian salat berjamaah. Dia (the stranger man) menjadi imamnya.

Usai salat dia sedikit mundur ke belakang, duduk di dekat saya. Dia membuka pembicaraan.

"Cakap Melayu?" Dia melontarkan 'tembakan' -pasti asumsi dia kami adalah wisatawan Malaysia.
"Ya" sambut saya dengan senyum lebar.
"Malaysia?" -tuh kan...bener. haha tanyanya lebih lanjut.
"Indonesia" Jawab saya bangga.
"Oh, Saya juga Indonesia. Bla..bla..bla..." Wah, betapa senangnya bisa bertemu saudara sebangsa setanah air di negeri orang :')

Kami pun mengobrol lebih lanjut saling bertanya untuk mengenal lebih jauh. Sementara Indra kembali berdiri takbiratul usai berjamaah tadi untuk menjamak salat Ashar.

Namanya Ayip. Dia sudah setahun belakangan mengajar di sekolah Indonesia-Thailand di Bangkok. Dia seorang Sunda. Namun, berdomisili tetap bersama keluarga kecilnya di Tanjung Priok, Jakarta Utara, tempat asal istrinya.

Karena dia sudah cukup lama tinggal di Bangkok, harusnya dia bisa menjadi sumber informasi, pikir saya. Saya pun mengajukan pertanyaan bagaimana cara untuk mencapai stasiun Hua Lampong dari MBK ini. Karena dia kurang tahu bus nomor berapa yang mengarah ke Hua Lampong, saya pun mengajukan pertanyaan yang lain, apakah bisa menggunakan skytrain/MRT untuk ke sana. Kami pun akhirnya berdiskusi berdua sambil menggelar lebar-lebar peta Bangkok yang saya miliki.

Akhirnya dia berpamitan setelah menyelesaikan diskusi. Hasil diskusinya: naik skytrain dari stasiun National Stadium yang tersambung dengan pedestrian overpass MBK, transit bersambung MRT di Silom dan sampai deh di Hua Lampong!

Ketika mengambil backpack kami di Deposit Bag saya pun iseng menghampiri meja informasi yang berada di dekatnya. Saya menanyakan bagaimana cara saya mencapai Hua Lampong dari MBK. Kakak cantik di balik meja kecil itu lebih menyarankan kami untuk naik bus umum saja, lebih gampang dan tidak perlu ganti moda transportasi. Kami hanya perlu menunggu bus bernomor 29 dari depan MBK di sisi jalan Siam Square (seberang MBK).

Begitu keluar dari MBK kami terlebih dulu mampir ke 7-11 untuk membeli roti tawar dan air mineral untuk bekal perjalanan. Kami cukup straight juga waktu itu menjaga neraca keuangan kami. Sengaja tidak makan siang demi menghemat Baht.

Dan, penantian panjang pun kembali dimulai. Bus nomor 29 tak kunjung datang menampakkan diri. Sementara di sisi jalan arah berlawanan entah sudah berapa kali bus nomor 29 terlihat melintas. Saya memasang mata ke arah datangnya setiap kendaraan mengharap menemukan bus nomor 29 di antara keramaian lalu lintas siang itu. Pegel juga ini rasanya berdiri lama sambil gendong backpack. Sialnya saya malah menginjak permen karet. Yuck!

Sampai akhirnya bus warna kuning melaju mendekat ke arah kami. This is it! Kami turut serta menghambur bersama penumpang lain, yang juga menunggu bus ini di halte tak jauh dari tempat kami berdiri tadi, menuju pintu bus yang secara otomatis terbuka saat berhenti di hadapan kami. Beruntung kami masih kebagian tempat duduk.

Bus ini kondisinya jauh lebih bagus (saya menyebut bus ini sebagai busway-nya Bangkok) daripada bus umum yang sebelumnya kami naiki saat menuju MBK, ataupun dibandingkan bus dengan nomor sama yang ada di sisi jalan sebaliknya. Dan ternyata harganya pun beda! Saya heran juga ketika menerima uang kembalian dari ibu-ibu yang menjadi kondekturnya, kok bisa gitu MBK - Hua Lampong yang jarak tempuhnya lebih dekat daripada Khao San - MBK tadi dikenakan tarif perjalanan lebih mahal hampir dua kali lipat, yaitu 12 Baht/orang. Jadi mungkin kalau memang niatnya mau jalan hemat naik bus umum, pilih saja bus kota yang sudah tua. Karena lumayan bisa menabung Baht dari selisih tarif karcisnya. Masalah kenyamanannya pun juga sebenarnya tidak begitu jauh berbeda. *noted!

Bus kembali melaju usai menurunkan kami di depan sebuah bangunan megah bergaya Italia Neo-Renaissance. Hua Lampong merupakan stasiun kereta api utama di Bangkok. Bangunan yang telah berumur hampir seratus tahun ini memiliki 14 peron dan 26 loket penjualan tiket yang mampu mengakomodasi puluhan ribu penumpang setiap harinya. Kehadiran layar-layar besar elektronik di beberapa sudutnya sangat menunjang sebagai sarana informasi, baik mengenai jadwal kereta atau hiburan iklan komersial. Sejak tahun 2004, Hua Lampong telah terhubung dengan sistem kereta api bawah tanah (MRT).



Siang itu keadaan stasiun cukup dipadati penumpang. Para petugas di loket harus melayani para penumpang yang mengantri panjang di depannya. Saya pun turut mengekor di belakang barisan. Dengan sabar saya menunggu sampai tiba giliran saya.

"I wanna take a train to Chiang Mai" saya menyampaikan maksud tujuan saya kepada petugas loket. Dia sibuk menekan tombol-tombol keyboard sembari serius memandangi monitor di hadapannya. Lalu mengarahkan monitor itu kepada saya untuk memberitahukan daftar keberangkatan dan jenis kereta berikut tarifnya.

"Can i get the cheapest one? The third class maybe?" Dia kembali menekuni keyboard dan monitornya.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja ...

"ARAI WA?!" kata-kata itu terlontar dari mulutnya dalam nada tinggi. Raut mukanya berubah, terlihat sedikit bersungut-sungut. Sementara saya yang berada tepat di hadapannya hanya melongo terkejut.  Karena sepengetahuan saya, saat menonton film Thailand, kata-kata itu akan dilontarkan seseorang sebagai sebuah tanggapan yang bisa diartikan sebagai 'what the heck?!'. Mungkin emosinya tersulut karena ada masalah teknis dengan piranti yang tengah dia gunakan, begitu pikir saya.

"Please, go to number three..." Katanya kemudian dengan sedikit terbata sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arah kanan.

"Heh? Number three...?" sambut saya kebingungan.

"Yeah, number three..." dia mengulangi kata-katanya sebagai penegasan.

Belakangan saya baru menyadari, kemungkinan karena keterbatasan penguasaan bahasa Inggris-lah yang menyebabkan petugas tersebut mengalami kendala dalam memberikan pelayanan. -atau apakah saya yang salah mengantri loket?

Kembali saya harus berkutat dengan yang namanya, M-E-N-U-N-G-G-U. Ini malah kali kedua saya menanti giliran untuk mendapat pelayanan penjualan tiket kereta api, hanya dalam jeda waktu yang tak begitu panjang. Yah, inilah cerita yang sudah semestinya harus dinikmati. Saya pun mengantri dengan khusyu'.

Dari sudut mata saya melihat Indra, yang tadi berdiri di belakang saya, tengah berbincang dengan seorang biksu (monk) yang sudah cukup berumur. Saya membalikkan badan memperjelas pandangan. Jelas sekali air muka Indra yang tampak kikuk sembari senyum-senyum kecut. Saya menajamkan pendengaran. Oh, rupanya biksu tadi bertanya sesuatu kepada Indra, hanya saja beliau menggunakan bahasa Thailand. Pantaslah Indra kebingungan menjawabnya. Saya pun segera melancarkan jurus andalan sambil berjalan mendekat.

"Poot Thai mai dai krab" (no speak Thai) kata saya kepada biksu tadi.

"Oh, maaf-maaf saya tidak tahu" kurang lebih seperti itulah terjemahan bebas bahasa Thai yang diucapkannya saat mendengar pernyataan saya. Beliau pun akhirnya berjalan menjauh menuju loket lain untuk menanyakan informasi kepada petugas.

Duh! Jadi tidak enak hati rasanya. Secara biksu adalah orang yang dianggap suci dan diistimewakan. Lha ini, saya tidak bisa membantunya dan malah beliau yang minta maaf. *garuk-garuk kepala*

Saya sudah berada di hadapan petugas loket.

"I wanna go to Chiang Mai" Saya langsung menyebut tujuan saya.

"Sleeper Train? 800 Baht" petugas itu begitu yakin bahwa wisatawan pasti memilih sleeper train untuk menempuh perjalan darat jarak jauh dari Bangkok menuju Chiang Mai macam ini.

"No, i wanna take the cheapest one. The third class maybe? It's on day leave right?" segera saya mengklarifikasi pilihan saya sebelum petugas itu mereservasi bangku sleeper train untuk saya. Namun berikutnya dia tampak terkejut dengan pilihan saya.

Tips: Memilih kereta api kelas tiga (ekonomi butut) bukanlah sebuah pilihan buruk. Sebaliknya, kita dapat lebih banyak menghemat biaya perjalanan. Dan bila ingin lebih hemat lagi, pilihlah jam keberangkatan siang atau sore hari (day leave).

"It'll be a long trip. Maybe you can take the second class. It still has fan/air conditioner" Dia mencoba memberikan alternatif agar saya tetap mendapatkan kenyamanan di dalam menempuh perjalanan jarak jauh dengan tarif kereta yang murah.

"No, i wanna take the third class" jawab saya singkat tak ingin mendebat.

"The seat is not comfortable. It's hard and the seat back is just plain" Dia mencoba meyakinkan saya bahwa keputusan saya bukanlah pilihan yang bijak.

"It's okay. I'll take it" Balas saya mantap.

"Okay, i'll make it for you. How many tickets?" Katanya kemudian.

"Two tickets" sahut saya. Petugas itu pun mulai melakukan entri data untuk reservasi tiket saya.

"462 baht" tambahnya. Saya lalu mengajukan sejumlah uang yang diminta.

Sesaat kemudian terdengar bunyi mesin pencetak tiket. Yeay! Jadilah ini berangkat ke Chiang Mai. Seru saya dalam hati. Petugas mengambil sepucuk kartu kuning. Lalu mencorat-coretnya dan kemudian menyodorkannya kepada saya.

"Because you're foreigner, so i give you this yellow card. It's also your ticket" Dia menerangkan. Saya pun hanya mengangguk.

Berikutnya dia menunjukkan kartu kuning itu kepada saya dan memberitahukan kepada saya mengenai tanggal, jam keberangkatan dan sampai di tujuan, nomor peron, nomor gerbong, nomor tempat duduk sampai harga yang telah saya bayarkan. Dia memastikan bahwa reservasi yang telah saya lakukan sudah benar. Anggukan kepala saya konsisten mengiyakan.

Tanpa membuang waktu lagi, begitu meninggalkan loket kami mulai mencari peron tempat kereta kami diparkirkan. Jam keberangkatan masih sekitar 45 menit lagi. Namun kami telah duduk di bangku dalam gerbong kereta dengan nomor sesuai yang tercantum di tiket. Selanjutnya saya hanya mengamati lalu lalang orang dan kesibukan yang terlihat dari jendela kereta. Sampai akhirnya kereta bergerak perlahan meninggalkan stasiun Hua Lampong. Chiang Mai, we're coming!

bersambung... (klik!)

Komentar

  1. beruntung bs ktmu orang se ras, wkwkwk, lanjutannya hep??

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, ALhamdulillah... hehe
      lanjutannya sebentar ya ka isna, hihi
      terima kasih sudah mampir dan meninggalkan komentarnya :D

      Hapus
  2. Wahhh. Only one of us has been to Thailand. Susan lived there and taught English and Adam has only transited there... We are going to Chang Mai in September! Can't wait!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hello, Adam.
      what an honour for me.
      thanks for visiting my site :)

      Wah, you guys are gonna go to Chiang Mai?
      i do love this town, specially because of the life cost is cheaper hehe

      i hope your traveling arround the world will be great and so much fun, just enjoy the journey. somehow, let's meet up in somewhere, any country maybe. Good Luck! :D

      Hapus
    2. Yes, we go to Chiang Mai and then cross the border into Laos. I'm sure we will meet up somewhere, someday. :)

      Hapus
  3. hahahah.. arai wa!! asik dah dapet kosakata baru :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. yeay! Arai wa!? ahaha semenjak kejadian itu kata ini sering saya ucapkan dalam berbagai kesempatan, haha lumayan kan, jadi nggak perlu mengotori bibir untuk berkata kotor :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia