Langsung ke konten utama

Meninggalkan UAS demi Traveling



WARNING: Cerita berikut murni spontanitas yang sebaiknya dihindari

Aku berpacu dengan waktu. Jemari yang mengayunkan pena terus menggores sekuat tenaga mengalirkan kata yang bersumber dari kepala. Aku merasa buta. Kapan harus mengakhirinya.

Pukul 10 kami telah berjanji. Meninggalkan ruang ujian untuk bertemu di parkiran.

"Hey, jam berapa sekarang?", aku berbisik ke meja sebelah.
"Entahlah, aku pun tak yakin apakah arlojiku ini memiliki keakuratan waktu yang tepat", jawabnya sembari menyunggingkan senyum kecil. Huh, aku sedang tidak ingin bercanda kawan.

Tak mendapat jawaban yang memuaskan, kembali ku isi lembaran folio dengan luberan jawaban yang yah...entahlah aku seperti sekadar menulis apa yang terlintas di benakku. Sementara dada ini berdegup tiada henti. Adrenalinku lebih tertantang untuk kabur dari sini. Memenuhi janji kepada kawan untuk bersama sejenak melarikan diri sebelum ujian berikutnya dimulai siang nanti.

"Waktu tinggal lima belas menit lagi", suara pengawas ujian lantang meneriakkan pemberitahuan itu. It meant 10.15 now!

"Damn! Aku gagal menantang diri untuk dapat menyelesaikan ujian ini dalam dua jam. Ah, sudahlah, aku akhiri saja, toh tinggal satu dua nomor yang aku pun tak tahu pasti harus menjawab apa", gumam dalam hati diikuti gerak tubuhku mengemasi alat tulis dan lalu menggendong tas berlari keluar ruang ujian.

"Aduh, apa kabar Fahmi ya. Dia pasti sudah menunggu lama. Aku terlambat 20 menit!", aku tergopoh menuju tempat parkir dan semakin panik ketika tidak menemukan Fahmi di sana. Diliputi rasa bersalah aku coba mengontak Fahmi melalui ponsel sementara mataku masih saja menyapu ke penjuru parkiran.

"Gue udah di depan gedung G", Fahmi menyahut di seberang sana. Sial! itu kan tempatku ujian tadi. Aku berbalik arah kembali ke sana dan benar, Fahmi sudah nangkring di atas motor matic hitamnya. Aku menghampirinya dan segera memasang sarung tangan, jaket, dan terakhir mengenakan helm untuk safety riding! Aku mengambil alih kemudi. Kami pun meluncur di jalanan ibu kota. Tak banyak waktu. Paling lambat 3 jam dari sekarang kami harus sudah sampai kembali ke kampus untuk mengikuti mata uji selanjutnya siang nanti. Aku pun mempercepat laju motor kami.

***

Sepulang dari Thailand awal Maret lalu, saya dan Fahmi banyak berdiskusi -saya 'memaksa' Fahmi mendengar cerita pengalaman saya backpacking ke Thailand. Kami pun menjadi lebih sering menghadiri gelaran travel expo atau hal lain yang serupa. Lucunya, kami tidak membeli paket liburan dari agen yang 'membuka lapak' di sana. Tetapi kami justru berburu brosur, souvenir, dan goodie bag dari tenant-tenant pameran dan sesekali bertanya ini itu dengan penjaganya terkait hal kepariwisataan yang memang 'dijual'-nya.

"Ayo berkunjunglah ke Malaysia. Kami akan memberimu tiket gratis nonton F1 di sana", begitu kata salah seorang sales promotion girls yang menjaga booth pariwisata Malaysia.
"Ah, kami ingin sekali. Tapi tanggal itu bertepatan dengan ujian kami", jawab saya sekenanya. Saya tahu dirilah, mana mampu mahasiswa 'kere' macam saya beli tiket pesawat/paket perjalanan (reguler) ke Malaysia kala itu. Tapi sedih juga melewatkan tawaran untuk memperoleh tiket gratis nonton F1 di Malaysia.

"Ya sudah, karena kalian mau ujian, ini saya kasih bolpoint ya untuk ujian", perempuan muda tadi membuka laci dan mengeluarkan dua kardus kecil panjang berisi pena bertuliskan Tourism Malaysia yang lalu diberikannya kepada kami.

***

Kami duduk-duduk di parkiran motor JCC usai mengunjungi travel expo tadi. Ngobrol ngalor-ngidul yang sampai akhirnya melahirkan ide: "Ayo kita booking tiket low cost airlines untuk ke Penang. Pagi berangkat, malam pulang*."

*kalender perkuliahan 'memaksa' kami untuk mengambil penerbangan PP dalam satu hari. Ini hal baru bagi kami -atau bisa jadi hal bodoh/gila- nekad jalan-jalan ke luar negeri hanya dalam satu hari!

Malam itu pun kami telah berhasil mengantongi tiket Jakarta-Penang-Jakarta.

Sejak hari itu kami telah banyak menghimpun informasi terkait pariwisata Penang. Hari-hari kami pun diisi dengan diskusi untuk pematangan rencana ini. Yah, karena hari keberangkatannya yang masih jauh (2-3 bulan ke depan) akhirnya kamipun mulai mendiskusikan hal lain. Mendekati hari keberangkatan, secara tidak sengaja info yang sudah kami kumpulkan pun hilang tak berbekas. Padahal sudah tidak banyak waktu yang kami miliki terbentur tugas dan ujian akhir semester yang membutuhkan perhatian extra (ini adalah semester akhir tahun kelulusan kami). Dan begitulah, menukarkan Rupiah ke Ringgit pun kami lakukan di tengah ujian seperti ini. -mengingat keberangkatan kami pada long weekend cuti bersama tepat seusai UAS.

MYR - Ringgit Malaysia | uang bekal kami


***

"Em, lo tadi udah selesai semua ngejawab soalnya?", pertanyaan itu terlontar begitu saja ketika aku menarik stang gas.

"Udah dong. Nggak nyampe jam 10 gue udah keluar ruangan", jawab Fahmi di tengah laju motor.

Hah, apa aku sudah gila? Bisa-bisanya meninggalkan ruang ujian dengan lembar jawaban yang tak terselsaikan. Tapi sensasinya memang luar biasa!

PS: Semoga Ibu/Bapak di rumah tidak membaca artikel ini :p

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain