Langsung ke konten utama

Jalan Kaki Keliling Bandung

Pagi sekali aku sudah berada di pool agen perjalanan untuk mengambil travel Jakarta-Bandung. Sambil menunggu kedatangan mobil travelnya, aku duduk-duduk di teras sampai kemudian seorang kakek menghampiriku. Beliau juga calon penumpang travel sepertiku. Setelah percakapan basa-basi, kemudian disampaikannya curahan hati bahwa beliau salah mengambil jam keberangkatan. Jam keberangkatan terdekat mengakhiri perjalanan di pool A, sementara beliau biasanya turun di pool B. Tapi mau gimana lagi, mau pindah jam juga udah nggak bisa, udah penuh. Yah daripada nunggu jam-jam keberangkatan yang lain lagi ya sudah tetap berangkat sajalah toh nanti tinggal menanyakan ke sopir travelnya bisa nggak minta turun di persimpangan jalan terdekat arah pool B -yang searah dengan rumah kakek tersebut?

Dalam hati: kita mempunyai masalah yang sama, Kek :|

Malah aku belum tahu medan -ini lagi ngomongin Bandung apa Medan sih? #krik. Sementara si kakek yang udah sering bolak-balik Jakarta-Bandung tentu lebih paham kalau mau ke tempat X, kita bisa turun di Y atau Z lalu begini begitu dan sampai deh(?) Solusinya satu: ikuti saja kakek ini, nampaknya tujuan kita satu arah ;)

Dan benar saja, si kakek mengajakku untuk turun bersama di persimpangan jalan di bawah fly over selepas Pasopati.

landmark terkenal kota Bandung, Gedung Sate :)


Begitu turun si kakek langsung menjentikkan telunjuknya ke suatu arah.
"Dari sini kamu tinggal jalan lurus saja, nanti di sisi kanan jalan ada tanah lapang, itulah Gasibu", begitu katanya menerangkan.
"Terima kasih, Kek," dan kamipun berpisah jalan.

Perjalananku di Bandung hari itu ku mulai dengan mengunjungi Museum Geologi Bandung. I think it's the most well treaten museum so far.

Lalajo ka Bandung! :D

-Day 1 in Bandung





Di lantai dua museum Geologi Bandung ini lebih terasa kesan 'sophisticated'nya. Desain ruangnya keren! Mirip-mirip markas Power Rangers gitu :) *peluk Zordon
















awas, ada kereta lewat!

Dari Taman Lalu Lintas aku kembali membaca peta sederhana yang aku punya. Aku janji bertemu dengan seorang teman yang tak sengaja ku kenal dalam sebuah acara Gala Dinner, Daniel. Kami sepakat untuk bertemu di BIP, Bandung Indah Plasa. Aku pun melangkahkan kaki lagi.

with Daniel in BIP food court

-Day 2 in Bandung!



the Famous Braga Street!

gedung kon[P]erensi Asia Afrika

baca koran gratis di depan gedung kantor Harian Rakyat

TITIK NOL BANDUNG



GKN di seberang tugu titik nol



Alun-Alun Bandung, euy!

gedung Kantor Pos

SBY mana SBY? -dikiranya nyasar ke Istana Negara

jalan kaki dari CIcendo ke Ciwalk. Nanjak abis! yosh!

fly over Pasopati


***


Aku memperlebar langkah kakiku ketika berjalan menembus kegelapan. Gelap. Benar-benar gelap! Hanya temaram sinar lampu jalan di kejauhan memberiku sedikit penglihatan. Lembaran koran dan sampah plastik sesekali beterbangan diterpa angin malam. Semakin aku jauh melangkah, gelap kian mencekam. Begitu mengedarkan pandangan ke sekitar, yang ku dapati bayangan segerombolan orang di bawah tiang-tiang bangunan -kegelapan tak memberiku kesempatan untuk mengidentifikasikan wajah-wajah mereka. Aku masih terus berjalan. Menjaga ketenangan diri, berlaga seperti 'aku tahu di mana aku berjalan saat ini, tempat yang aku tuju berada tak jauh dari sini'. Padahal, rumus berlaku sebaliknya. Kegelapan ini membuatku buta. Belakangan baru ku sadari, aku sedang menyusuri jalan raya yang membelah kawasan Pasar Baru Bandung.

Kala itu waktu sudah menunjukkan pukul 20.30. Sementara malam kian melarut aku masih saja berada di jalanan mencari penginapan. Lebih tepatnya, kesasar. Aku salah ambil jalan. Karena kondisi sekitar yang semakin mengkhawatirkan, aku pun memutuskan untuk balik arah. Kembali ke jalan yang terang.

Sekalipun ini perjalanan yang minim persiapan, tapi aku sudah menyempatkan diri untuk mencari info penginapan di Bandung. By Moritz hostel adalah (satu-satunya) penginapan murah untuk para 'pengembara' yang mengunjungi kota Kembang ini. Berada di belakang pasar Luxor, masih di sekitar kawasan stasiun Bandung. Rate yang ditawarkan cukup masuk akal, IDR90,000/room/night -kamar mandi di dalam, fan, & free breakfast.

Jalanku kini terang, meskipun pertokoan di sepanjang jalan ini sebagian besar sudah menutup rapat pintu-pintunya. Aku berhenti di depan pintu kaca sebuah toko. Aku rasa itu adalah workshop seorang tukang jahit, karena di etalasenya terpampang baju-baju pajangan dan tak jauh dari pintu kaca itu seorang perempuan muda sedang menekuni mesin jahit dibimbing oleh seorang pria. Ah, nampaknya aku bisa bertanya kepada mereka di mana letak penginapan itu. Dengan percaya diri aku mendorong pintu kaca tadi, aku ingin masuk ke dalam menghampiri dan bertanya. Tapi... Dug! Pintu kaca tak bergeming sedikit pun. Suara itu mengundang perhatian kedua orang di dalam ruang. Mereka terdiam beberapa saat dan memandang heran. Aku yang salah tingkah hanya bisa membuka-tutup mulut memberi isyarat 'permisi, numpang tanya' dari balik kaca -aku yakin, dari dalam pasti aku terlihat bodoh layaknya ikan megar-megar kehabisan napas. Pria tadi pun berjalan ke arah pintu, membuka penguncinya dan kemudian aku memperoleh jawaban atas pertanyaanku. Beliau dengan sabar menjelaskan ke arah mana dan petunjuk apa saja yang dapat mengantarkanku ke penginapan itu.

"Jalan lurus saja sepanjang ruko ini, lalu setelah pintu keluar beloklah ke kanan. By Moritz tak jauh dari situ", seorang petugas keamanan memberitahuku ketika aku sampai di pintu gerbang Pasar Luxor sebagaimana petunjuk yang aku peroleh dari tukang jahit tadi.

Berjalan di sepanjang kompleks ruko ini kok seperti berjalanan di kawasan 'lampu merah' ya? (Lagi-lagi) Gelap dan sepi -ya menurut lo? ini udah malam woy!

Dua orang pria duduk-duduk di serambi penginapan itu, aku pun menghampirinya dan menanyakan apakah masih ada kamar kosong. Tentu pertanyaanku disambut baik. Salah seorang dari mereka malah langsung mengantarkanku ke lantai dua dan menunjukkan kamar single room yang dapat aku tempati. Tanpa berlama-lama aku langsung saja menyepakati harga. Lagian, mau nyari ke mana lagi? Hari sudah terlalu larut untuk mencari penginapan lain -lagian ini sepertinya juga udah paling murah deh. Kedua kakiku yang seharian jalan-jalan (literally jalan kaki) keliling Bandung perlu ku istirahatkan.






perbekalan yang dikasih Daniel, thanks Dan! :') you saved me


***

...

Akhirnya malam itu aku menghabiskan waktu dengan membaca novel sambil menunggui ponselku yang aku recharge di atas meja di depan kamarku -FYI, nggak ada colokan listrik di dalam kamar :|

Komentar

  1. Horray new post. Been waiting for your post for yea... months. Getting better with your arms?

    BalasHapus
    Balasan
    1. HAKJLEB! hahahaha it's been a while. sorry for (a very long) waiting and thanks to you for waiting hihihihi

      my arms are good. the right one is still on progress to regain the power back.

      anyway, i visit your blog sometimes. i like the way you share. but, i have no gut to leave any comments because... hm, ask me directly when we're met ;)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain