Langsung ke konten utama

Oktober Fantastis (serial) - eps 4 - (masih) Malam Pertama



24 Oktober 2012

Kami pun akhirnya ‘blusukan’ di night bazaar Petaling berburu jodoh colokan. Meskipun hasil yang kami dapat tidak begitu sesuai harapan, tapi setidaknya ponsel dan kamera kembali menemukan secercah harapan untuk keberlangsungan hidup dan masa depannya -apeu. Malam itu kami berhasil menawar bebarapa ringgit untuk sebuah steker kaki tiga lobang tiga yang salah dua dari lobangnya itu bisa dimasuki kaki steker lobang dua milikku (belibet kuadrat).

Malam masih panjang, pantang untuk kembali ke penginapan.

“Itu, bangunan itu. Gue tadi liyat pas kita lewat Little India. Deket deh itu kayaknya. Gimana kalo kita jalan ke sana?” Fahmi dengan hipotesa yang dibuatnya sendiri mengajak untuk berjalan kaki menyambangi bangunan tinggi dengan aksara India besar-besar yang menyala menghiasi badan gedung itu.   

Siapa takut?

Beberapa ratus meter jarak telah kami tempuh. Menjauh dari kawasan Petaling. Sampai satu waktu kami tak sengaja sama-sama melihat ke masa lalu belakang, dan mendapati langit yang terang akibat pendaran cahaya putih yang terpancar dari menara kembar.

“Eh, itu Petronas?”

“Keren banget cahayanya bisa seterang itu”

“Eh, iya. Ayo kita ke sana saja”

Malam itu menjadi malam panjang bagi kami. Malam pertama di Malaysia.

***

Kaki berbalik arah, hanya melangkah dan terus melangkah tanpa tahu pasti jalan mana yang harus kami tempuh untuk mencapai Menara Kembar itu. Hanya sesekali sewaktu di persimpangan jalan, kami mendongakkan kepala melihat pucuk menara kembar yang bercahaya dan lalu mulai menebak-nebak untuk memutuskan jalan mana yang harus kami pilih untuk bisa sampai di sana.

“Yakin ini jalannya?”


“Harusnya sih di persimpangan depan kita tinggal belok kiri lalu lempeng aja udah nyampe”.

“Tapi kok jalan ini nggak ada habisnya ya? Dari tadi udah jalan lurus tapi kok kita nggak nyampe-nyampe di persimpangan jalan?”

“Dan kayaknya kita malah menjauh dari arah Menara Kembar”.

“Perasaan ada yang salah deh”.

Kami kembali melihat masa lalu ke belakang mencari jawaban. Lalu tertawa.

“Hoahahahahahaha... pantesan aja kita kayak makin menjauh dari Petronas, tuh liyat! Jalannya nikung! Hahahahahahahaha”.

Kami menertawai kealpaan kami yang tidak begitu memperhatikan jalan. Beruntung hanya jalan ini yang menikung. Bukan seperti jalan cinta kamu yang ditikung sama teman #eh

“Yaudah kita coba kompas jalan. Lewat gang-gang kecil kayak gini aja. Siapa tahu bisa tembus ke jalan gede arah Petronas”.

Kami pun mulai menyusuri gang kecil di kiri jalan utama dalam keremangan cahaya. Semakin jauh kami menapaki jalan selebar tiga meter itu, semakin minim penerangan namun pancaran sinar Petronas tampak semakin terpampang nyata. Hingga akhirnya kami harus menerima kenyataan bahwa ini adalah jalan buntu. :(

Sedih di-PHP-in sama jalan buntu, kami kembali menapaki jalan utama sampai kami menemukan persimpangan jalan. Sesuai rencana, kami berbelok ke arah kiri dan... rupanya kami memasuki kawasan Bukit Bintang! Orchard Road-nya Kuala Lumpur kalau orang bilang. Tapi karena sudah fokus sama satu tujuan, kami terus saja berjalan tanpa menghiraukan gemerlap dunia malam yang ditawarkan(?)

Menjelang tengah malam, semakin dekat jarak kami mencapai Petronas. Mungkin sekitar tiga ratus meter lagi. Tapi Fahmi yang tadinya melangkah penuh semangat kini mulai berjalan lambat. Dia nampak sibuk mengobrak-abrik tas kameranya.

“Kenapa em? Ada yang salah?”, tanyaku ingin tahu.

“Perasaan tadi BB udah gue masukin sini tapi kok nggak ada ya?”, keresahan mulai nampak di wajahnya.

“Yakin tadi lo masukin tas? Di kantong lo ada nggak? Coba deh diinget-inget lagi”, aku berusaha menenangkan.

“Apa jatuh ya pas tadi pasang batre. Soalnya gue baru nyadar gue lupa nutup tasnya. Jadi sepanjang jalan ini tadi tas gue kebuka”, dia berhipotesa (lagi).

“Terus gimana dong? Apa kita balik penginapan aja buat cek kali aja ketinggalan di sana?”, usulku.

“Nggak ah, biarin ajalah. Nanggung soalnya kita udah mau sampe”, Fahmi kembali melenggang mantap. Aku pun menjajari langkahnya.

So, here we are... Petronas Twin Tower. Masihkah berpredikat menara kembar tertinggi di dunia? Aku tak mempermasalahkannya. Aku hanya mampu mendongakkan kepala, menikmati landmark bangunan tinggi kebanggaan Malaysia yang malam itu bersinar bermandikan cahaya lampu di sekujurnya. So, stunning! Sampai-sampai aku lupa untuk check-in Foursquare haha

Lagi asyik menikmati suasana, tiba-tiba...

“Maaf, pukul dua belas malam tepat lampu akan dimatikan. Jadi silahkan Anda meninggalkan area Menara Kembar”, beberapa petugas keamanan terjun ke lapangan memperingatkan para pengunjung yang masih asyik menikmati pendar cahaya menara kembar.

Kami dan beberapa pengunjung lain masih malas untuk beranjak. Sampai perlahan lampu-lampu petromax Petronas dipadamkan dan beberapa detik kemudian si kembar itu tak lagi memancarkan sinarnya.

“Eh, pi... Lo jadi bawa titipan gue kan?”, Fahmi teringat suatu rencana yang sejak dari rumah sudah dipikirkannya.

“Sip! Ada spidol sama lo nulisnya di notes gue aja, nih”, aku mengangsurkan notes kecil dan spidol besar yang biasa aku bawa ke mana-mana, persiapan kalau di jalan ketemu orang terkenal bisa langsung minta tanda tangannya. (Walah...)

Fahmi pun mulai sibuk mencari halaman kosong di buku kecil tempatku biasa menumpahkan catatan kecil di setiap perjalananku. Dia kemudian menuliskan sesuatu di sana.

‘Happy Bday @Faizaelviya’

Fahmi kemudian memintaku untuk mengambil gambarnya memegangi tulisan itu dengan latar Menara Kembar. Kami sama sekali tak mempedulikan sekitar. Sebodo amat deh diusirin petugas, nanggung nih pak! Give us a minute.

Ya, begitulah Fahmi. Dia paling niat kalau udah punya rencana jahat! -BB ngilang pun diikhlaskannya Hahaha Dengan bermodus mengucapkan ulang tahun untuk adiknya, sebenarnya dia lebih kepada ingin memamerkan objek yang menjadi latar fotonya. Ckckck Beruntung kami masih memperoleh pencahayaan yang cukup untuk dapat membidik Menara Kembar sebagai objek latar meskipun lampu di sekujurnya telah dipadamkan.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain