Langsung ke konten utama

Backpacking "MALANG" part 4 (2)


Day 5
Unbreakable

Usai menunaikan solat Dzuhur di Masjid Agung kota Batu kamipun bergegas untuk kembali ke Malang. Karena Danto dan Fahmi hendak beli oleh-oleh, akhirnya atas usul dari Ardha destinasi kami selanjutnya adalah daerah Blimbing.

Lalu lintas hari itu cukup ramai lancar, ada kalanya saya kehilangan Ardha dari pandangan saya. Ketika Ardha lebih dulu berhasil menembus crowded-nya lalu lintas siang itu, dia menunggu di pinggir jalan dan kembali mengemudikan motornya ketika saya datang menyusul. Namun entah mengapa, ketika mulai memasuki kawasan Dinoyo (kawasan yang terkenal sebagai biang macet) Ardha benar-benar lepas dari pandangan saya. Tapi saya masih tenang-tenang aja. Toh tujuan kami jelas, ke daerah Blimbing. Ya bisalah ntar ketemu di sana. Sama-sama tahu jalan ini. Saya pun terus melaju dengan percaya diri mengemudikan motor menuju ke Pasar Blimbing.

Sesampainya di sekitaran Pasar Blimbing, saya meminta Danto untuk coba menghubungi Fahmi menanyakan keberadaan Ardha dan Fahmi. Fahmi pun membalas kalau dia dan Ardha masih on the way ke Blimbing. daripada nunggu mereka di pinggiran jalan depan pasar yang cukup ramai, akhirnya saya merapat ke depan kampus STIE Malang Kucecwara yang masih di sekitaran situ. lumayan sedikit ngadem meskipun kami masih berada di atas motor. Sambil terus mencoba menghubungi Fahmi lagi, akhirnya Danto bilang kalau Ardha dan Fahmi sudah di daerah Blimbing. Tapi masalahnya bukan di Blimbing tempat saya berada saat ini, mereka berdua ada di belahan lain daerah Blimbing, Kota Araya. Ardha dan Fahmi sudah berada di supermarket di kawasan Kota Araya. Di manakah itu? Coba ada Dora, pasti dia bisa bantu menemukan tempat itu dengan mudah dengan menggunakan petanya. Saya dan Danto bergegas untuk menghampiri mereka ke Kota Araya menembus padatnya lalu lintas kala itu.

Saya pun meminta Danto untuk terus update informasi mengenai lokasi yang hendak kami tuju ini. Namun karena kurang mengenal medan, kami berdua malah justru berputar-putar tak tentu arah hingga akhirnya kami berhasil kembali ke jalan kebenaran, menemukan jalan arah kota Araya. sesampainya di persimpangan lampu merah depan kota Araya Danto memberi tahu bahwa Ardha dan Fahmi udah nggak di situ, mereka menghampiri kita ke Pasar Blimbing. Err... how could it be?

Gemes juga ya rasanya. Yawes akhirnya puter balik lah itu kami ke arah Pasar Blimbing. Saya meminta lagi ke Danto untuk bilang ke Fahmi supaya jangan ngilang-ngilang lagi, tunggu kami di Pasar Blimbing aja.
*Maaf ya nto, waktu itu gue ngomongnya rada-rada nada menggerutu - no offense

Sesampainya di Pasar Blimbing akhirnya kami berhasil dipertemukan kembali. Namun, tak ada tanda 'semua baik-baik saja' yang tersirat dari muka kami. Sama-sama memahami lah, kami yang cukup lelah harus menghadapi kesalahpahaman macam ini. Saya pribadi pun merasa nggak enak hati. Tapi, ya...yaweslah. Berusaha menenangkan batin #tsaah

Sedikit konflik bisa menghilangkan akal sehat rupanya. Kami berempat memutuskan untuk mencoba membeli oleh-oleh di Pasar Blimbing ini. Padahal jelas dari penampakannya ini pasar tradisional biasa. Ya apa gitu yang mau dijadiin oleh-oleh. Ada juga apel kiloan. hoho... See jadilah kita gak dapet apa-apa setelah muterin isi pasar. hehe

Ardha mengambil inisiatif untuk mengajak kami ke toko oleh-oleh yang cukup terkenal kayanya yah di Malang. Soalnya toko oleh-olehnya ini lumayan ramai pengunjung. Kalau nggak salah di sekitaran Jalan Tumenggung Suryo mungkin ya? masih deket kawasan Blimbing juga sih. Tapi sayang saya lupa namanya. Soalnya saya nggak beli. Hehe ntar pasti diketawain emak di rumah pulang-pulang bawa oleh-oleh Malang. Pernah lebih dari 10 tahun hidup di Malang jadi udah biasa lahya ^^ (nggak tahu lah ini niat menginformasikan atau nyombong)

Balik ke Danto sama Fahmi, mereka berdua udah asik ngambilin jajanan di rak dan membawanya ke kasir. Ngeborong bang? Cukup banyak lah oleh-oleh yang mereka beli. Keluar toko, masing-masing udah bawa satu kardus, malah ada oleh-oleh yang nggak muat akhirnya dimasukin kantong plastik.

Mood yang udah mulai naik lagi harus kembali turun ketika menyadari si hitam ngambek lagi. Waaaa nunggu 10 menit lagi ya? Tapi situasi kondisinya nggak mendukung nih. Akhirnya saya bawalah motor itu ke depan bengkel yang sedang tutup tak jauh dari toko itu.

Ngapain dibawa-bawa ke bengkel kalau bengkelnya tutup?

Buat nunggu habisnya waktu 10 menit -,-

Yah, sebenernya gak enak hati juga. Gimana perasaan Ardha, Fahmi, Danto ya? Semoga mereka bisa memahami. Nggak pada marah kan ya sama si hitam?

Kami berempat menunggu. Namun tak banyak yang kami bicarakan waktu itu. Bener-bener nggak enak hati saya. Entah udah ada 10 menit atau belum saya coba menghidupkan kembali mesin motornya.  It didn't work. Cuma bisa ngelus dada ajalah. Yok menunggu lagi...

backsong: "ku akan menanti, meski harus penantian panjang..."

Lalu Fahmi pun mengusulkan, dari pada buang waktu mending kita misah bagi tugas, ada yang cari penginapan. Dia mau me-volunteer-kan diri. Tapi kan Fahmi nggak tahu jalan, jadi salah satu dari Saya atau Ardha harus nemenin Fahmi. Tapi saya nggak berkenan, karena saya merasa bertanggung jawab atas si hitam ini. jadi saya lebih memilih untuk menungguinya. Akhirnya yang berangkat mencari hotel adalah... Fahmi dan Danto.

Yakin bisa?

Dibisa-bisain. Lumayan kan jadi pengalaman bisa 'nge-bolang' di kota orang.

Entah berapa lama setelah Fahmi dan Danto pergi, saya memutuskan untuk menyalakan kembali si hitam.

"Brum..brum...brum...." rasanya nggak pengen ngelepasin tarikan gasnya, takut mati lagi.

Syukurlah, saya dan Ardha pun segera menyusul Fahmi dan Danto. kalau nggak salah tadi Fahmi sempet nyebut mau survey ke penginapan Jona's Homestay di sekitaran Jalan Budi Utomo apa ya? Meluncurlah kami ke sana.

Danto dan Fahmi udah nggak di situ lagi kayanya. Daripada kejadian tadi siang terulang, saya dan Ardha pun memutuskan untuk menunggu di depan Jona's sambil mencoba menghubungi mereka. Ternyata Danto sama Fahmi sudah nemuin penginapan yang cocok. Hotel Menara, di sekitaran Balai Kota belakang kompleks SMA Tugu.

Singkat cerita, kami menyusul ke Hotel Menara, check in, lalu segera mengambil backpack kami di rumah Ardha dan memboyongnya kembali ke penginapan.




Setelah solat Ashar, saya menyegerakan diri untuk mengembalikan motor Sadam. Udah mau mendekati jam pulang kantor nih. Pas keluar kamar, tahu-tahu nemuin Ardha duduk tertunduk dengan menyandarkan kepalanya di atas tangannya yang dilipat di atas meja. Dia tertidur rupanya. pasti kecapaian.

Tancep gas pol! Waktu nyampe di Kantor BC Sadam dan temennya udah pulang kantor. Maaf ya nunggu lama ya? Semoga tidak. Hehe Segera saya serahterimakan kembali motor dan helmnya. Terima kasih ya, Dam :)

Sadam bersama temannya pun segera pulang karena harus mengejar waktu yang mendekati saat buka puasa. Kami pun berpisah. Sadam menghilang dari pandangan sedang saya masih berdiri di depan kantor BC menanti angkot. Namun tak berapa lama, Sadam kembali. Kangen ya? Kan baru sebentar kita berpisah bro... #plak Bukan!

"Hep, STNK nya mana?"

*Nyengir*

"Err... Ya ampun, STNK nya masih di Danto". *jreng-jreng*

Saya pun memberikan nomor telepon Danto ke Sadam dan memberi tahu Sadam kalau Danto kemungkinan besar udah di tempat makan "Bakso Bakar deket SMP 3". Petang ini kami memang berencana untuk buka puasa bareng teman kuliah kami, Maria, anak Malang juga.

Sadam bergegas. Tak lama saya pun mendapat angkot setelah saya sadar kalau saya salah tempat menunggu angkot yang seharusnya saya menunggu di seberang jalan karena jalur angkotnya ke arah yang berlawanan. Angkot melaju membawa saya ke daerah Balai Kota-Stasiun. Karena saya juga belum tahu pasti di mana itu lokasi Bakso Bakar tempat kami janjian akhirnya saya memutuskan turun di ujung jalan Dr. Sutomo dan berjalan meraba-raba arah, tanya sana-sini sampai berhasilah saya menemukan lokasi itu. Maria sudah datang rupanya. Dia mengajak adik laki-lakinya. Kami mulai sedikit banyak mengobrol ke sana kemari. Sambil mengorder makanan.

Bakso Bakar Pak Man. Ini adalah tempat nongkrong Maria dan teman-temannya pas masih duduk di bangku SMA. Memang nggak jauh sih dari kompleks SMA Tugu. Letak warung ini di kawasan perumahan di dekat SMP 3 Malang (Jalan Cipto). Biar kecil tapi ramai pelanggan. Dan katanya lebih enak dibanding warung bakso bakar yang lain. Masalah harga dihitungnya 1500/biji. Bisa ngambil bihun sama kucai dan bawang gorengnya sesuka hati. Hm, pas disiram kuahnya seem yummy! Tapi pas dimakan? HOT! pedes-pedes enak! haha Patut dicoba ya pokoknya :)




back to storyline
Pas lagi ngobrol-ngobrol tahu-tahu Danto tanya tentang STNK Sadam. Baru inget, apa kabar nasih sodaraku ini? hehe ternyata Sadam dan temannya udah berada di seberang jalan depan warung tapi masih nangkring di motor. Saya dan Danto pun datang menghampiri untuk meminta maaf atas kekhilafan ini dan menyerahkan kembali STNK-nya. Sadam yang kami ajak bergabung bersama memilih untuk segera pulang sebelum maghrib tiba.

Sehabis acara buak puasa bareng, kami dan Maria berpisah. Maria mau ada acara lain sama adiknya. Kamipun berjalan ke masjid terdekat untuk menunaikan solat Maghrib. Oiya, hari ini kita melewatkan takjil gratis. Selama perjalanan kami sering kali menghadapi masalah yang sama ketika mau solat berjamaah sendiri seperti ini. Di antara kami nggak ada yang bersedia untuk menjadi imam jamaah. Pasti melempar ke sana kemari kamu saja kamu saja yang jadi imamnya. Ckckck

Sebenernya perut masih belum cukup kenyang. Tapi memang sengaja. malam ini kami berencana berwisata kuliner! Yeay!

Ardha merekomendasikan kami untuk mencoba Surabi Imut depan pasar Klojen. Jadilah Ardha balik ke warung Pak man untuk ngambil motor dan kami berjanji ketemu lagi di warung Surabi Imut yang di maksud. Saya, Fahmi dan Danto lebih memilih untuk berjalan kaki.

Pas nyampe di pertokoan dekat stasiun kami mencari-cari motor Ardha untuk memastikan dia sudah sampai di warung Surabi ini. Kami tidak menemukannya, mau menghubungi Ardha namun handphone Ardha telah meninggal dunia kehabisan daya. Terus akhirnya kami tanya orang di mana letak pasar Klojen itu. Ternyata kita salah tempat, terpaksalah jalan kaki lagi ke arah Pasar Klojen. Sesampainya di sana kami celingukan mencari warung surabi yang dimaksud. Sampai akhirnya kami menemukan sosok Ardha yang juga celingukan menanti kedatangan kami di depan warung Surabi Imut.



Daftar Harga :
Aneka kue serabi dengan beragam topping Rp2.000-5.000
Aneka pisang bakar Rp3.000-Rp4.000.
Aneka minuman :
Es Yoghurt Rp3.000
Es susu cokelat Rp2.000
Kopi Rp2.000
Es moccacino Rp2.000
*sumber: KLC

Kenapa Surabi Imut? Kenapa nggak cute? Lebih komersil loh padahal. haha

Surabi imut karena ini bukan surabi biasa. Penampakannya lebih kecil dari kue surabi pada umumnya dan memiliki topping varian dengan beragam rasa dan harga. Rasanya? Jangan ditanya! Nampol abis! *tiba-tiba jadi pengen makan surabi imut lagi (lapaaarrrr)

Melihat Ardha yang udah kecapain nampaknya padahal dari pembicaraan kami tadi dia besok harus datang ke upacara peringantan Hari Kemerdekaan sebagai Purna Paskibraka. Let's do the trick!

Kami menyarankan Ardha untuk segera pulang saja, mengingat hari yang makin larut dan besok pagi-pagi sekali dia kan juga harus menghadiri upacara itu. Kami pun berpamitan ke Ardha untuk balik ke hotel saja. Meskipun Ardha sebenarnya masih bersemangat untuk menemani kami berkeliling.

Ketika Ardha sudah pulang, kamipun melambaikan tangan. Bukan pada Ardha, namun pada angkot yang lewat. Kami akan mengunjungi Toko OEN! Semacam toko penjaja es krim yang sudah cukup tersohor di Malang karena keunikan tokonya yang sangat bernuansa kolonial. Terletak di dekat Hotel Riche tempat kami menginap di hari sebelumnya. Masalah harga di atas standar sih, tapi masalah rasa..beuh...standar.






Puas menikmati Es Krim di Toko Oen ini kami sempatkan untuk mampir ke pusat perbelanjaan terdekat untuk membeli air mineral untuk cadangan persediaan. Udahnya kita berjalan kaki pulang ke hotel, lagi-lagi harus melewati jembatan yang ada makamnya itu... *ngikik

Tak banyak yang bisa kami lakukan sesampainya di hotel. tak ada hiburan, karena kamar kami kebetulan tidak ada fasilitas TV-nya. kami hanya tiduran dan mainan handphone.

krik..krik..krik...

"Hari ini penuh dinamika dalam perjalanan kami. Berbagai rasa mewarnai. Tapi puji Tuhan perjalanan kami dapat terus berlanjut dan kian mengasyikkan"

Besok akan jadi Best Moment di hari terakhir perjalan kami. Stay tune ya :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain