Langsung ke konten utama

Backpacking Thailand: Intercut Short Stories II

M.B.K "Menunggu Berharap Kepastian"

3 Maret 2012


"ku akan menanti... meski harus penantian panjang..."

Seringkali saya menghibur diri dengan mendendangkan potongan lirik dari single pertama Nikita Willy tersebut di kala saya harus menunggu. Mungkin terdengar aneh. Tapi setidaknya saya bisa meyakinkan diri sendiri untuk bersabar hingga apa yang ditunggu tiba.

***

Hari ini kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan mengunjungi kota berjulukan "Mawar Utara", Chiang Mai. Kota yang berjarak 700 kilometer arah Barat Laut dari ibukota Thailand ini rencananya akan kami tempuh dengan menggunakan kereta api berangkat dari stasiun Hua Lampong, Bangkok.

Sayang rasanya kalau sampai melewatkan Chiang Mai ketika mengunjungi negeri Gajah Putih ini. Suasananya yang sejuk, tenang dan biaya hidup yang murah bisa menjadi pertimbangan penting selain keberadaannya sebagai salah satu kota tujuan wisata. Yeah, let's call it a getaway. Dengan keterbatasan dana kenapa tidak kita optimalkan untuk melihat kota lain yang tentu melahirkan cerita dan pengalaman baru daripada tetap stay di Bangkok dan mungkin sisa bekal uang yang kami miliki tidak mencukupi.

Dari perencanaan nekad itulah akhirnya kami memutuskan untuk tarik tunai di ATM. Sengaja memang telah saya sisihkan travel-life cost untuk perjalanan selama di Thailand dalam rekening saya sebagai upaya menahan diri untuk ini dan itu dengan mencukupkan uang tunai yang dipegang terlebih dahulu. Selain itu, biar ada pengalaman tarik tunai di ATM di luar negeri. Hihi #norak

Coba tengok kartu debit Anda. Bila ada logo Visa, maka kita dapat mengambil uang melalui mesin ATM berlogo Visa ketika bepergian keluar negeri. Tentu penggunaan layanan ini mengenakan sejumlah biaya administrasi tertentu sesuai kebijakan masing-masing bank. Silahkan hubungi call center bank penyedia jasa layanan keuangan Anda untuk informasi lebih lanjut.

Kami berpikir untuk melakukan tarik tunai di mesin ATM yang ada di pusat perbelanjaan saja, itung-itung biar bisa sekalian jalan-jalan -window shopping, not buying. Kawasan pusat perbelanjaan di Bangkok yang terkenal adalah daerah Siam. Kami memilih MBK (Mahboonkrong) sebagai mal yang ramah di kantong. Bisa dibilang semacam ITC, tapi nggak menye-menye. Sehari sebelumnya saya sempat bertanya kepada Om Ariy -author of travel guide book "Rp 1 Jutaan Keliling Thailand dalam 10 Hari", melalui twitter untuk menanyakan bagaimana saya bisa mencapai MBK dari Khao San Road. Naik bus nomor 15, kata beliau. Kita dapat menunggunya di Jalan Ratchadamnoen Klang Rd arah Monumen Demokrasi.

Well, belajar dari kerancuan angka 50/15 (klik di sini) yang seringkali terjadi, akhirnya saya mengajak Indra untuk mampir pos tourist information tak jauh dari mulut gang Soi Rambuttri untuk memastikan informasi dan siapa tahu bisa menunggu busnya bisa di sekitaran sini saja tanpa harus berjalan jauh ke Monumen Demokrasi.

"Excusme, how can i go to Mahboonkrong? What bus should i take?" segera saya lontarkan pertanyaan begitu sampai di sana.
"Bus number FIFT(EEN)Y" Jawabnya lantang. -tuh kan masih saja terdengar seperti FIFTY, padahal yang dimaksud adalah FIFTEEN.
"So, where can i find the bus?" tanya saya kemudian.
"Just go there, you can wait the bus in front of the 7-11" jelasnya singkat sembari menunjuk-nunjuk ke arah minimarket 7-11 yang berada sekitar 50 meter dari muka Rambuttri Road -seberang Soi Rambuttri. Dan memang terlihat banyak orang yang naik turun dari kendaraan umum di sana.
"Okay, Khoop Khun Krab" (terima kasih) Kami meninggalkan pos kecil itu dan berbalik arah melangkahkan kaki menuju pemberhentian bus yang ditunjuk tadi.

Detik yang terus berputar, menit yang terus berganti, resah pun mulai menghampiri mana kala penantian tak kunjung berakhir.

"Duh, ini beneran lewat sini nggak sih busnya? Bus dengan nomor lain sudah berapa kali melintas di hadapan kami dan menaikturunkan penumpang" gerutu saya dalam hati. Saya dan Indra yang sudah mulai kehilangan kesabaran bahkan menjadi lebih banyak melongok ke jalan berharap bus nomor 15 segera menampakkan diri.

"Tunggu, apa benar bus nomor 15 (fifteen)? Bagaimana kalau ternyata yang diinformasikan tadi bus nomor 50 (fifty)? Ah, tapi sedari tadi juga tidak ada bus dengan nomor 15 ataupun nomor 50 yang melintas. Ya sudahlah, kalau 10 menit lagi tidak juga datang, nekad sajalah naik taksi dengan mengubah arah tujuan langsung ke stasiun Hua Lampong saja" otak rasanya keriting untuk berpikir dan cenderung kepada pemikiran yang boleh dibilang malah memperkeruh perasaan. Screw you 50/15 effect!

Setidaknya lirik lagu Ku Tetap Menanti milik Nikita Willy mampu menguatkan saya(?)

Kami melongok ke jalan untuk kesekian kalinya dan... voila! She's there! Di kejauhan nampak bus dengan cap nomor 15 tertulis jelas di 'dahi'nya. Begitu bus mendekat ke arah kami, bukannya langsung naik bus, saya berlari kecil ke jendela depan sisi kiri menanyai seorang perempuan yang duduk di sana.

"Mahboonkrong?" tanya saya sambil berlari mengimbangi bus yang berjalan lambat. Dia menganggukkan kepala. Saya dan Indra pun segera membuka langkah lebar memasuki bus. Beruntung masih cukup banyak tempat duduk kosong yang tersisa. Saya pun memilih untuk duduk di kursi dekat jendela di sisi kanan. Begitu juga dengan Indra yang  duduk di belakang saya. Lumayan kan, sembari menanti bus yang bergerak mencapai tempat tujuan kita dapat menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan.

Bus umum di Thailand, khususnya yang sedang saya naiki ini, adalah bus tua yang masih terjaga performa dan kondisi fisiknya. Badan bus yang besar menjadikannya terlihat memiliki ruang lebih luas untuk mengangkut penumpang. Sopirnya juga enak mengemudikannya, tidak ugal-galan. Bila tempat duduk telah terisi semua, tersedia pegangan tangan yang tergantung di langit-langit bus bagi penumpang yang berdiri. Nah, kalau Anda ingin turun tinggal pencet saja tombol merah di tiang dekat pintu atau di titik lain di sekitar bangku. Kebetulan bus ini hanya memiliki satu pintu otomatis (terbuka/tertutup sendiri) untuk akses keluar masuk penumpang. Salut! Meski penampakannya jadul, namun kendaraan angkutan massa ini masih dapat berfungsi dengan baik.

"Song khon" (dua orang) kata saya sembari mengangsurkan lembaran uang manakala perempuan yang tadi saya tanyai -ternyata kondektur bus- menarik retribusi untuk membayar karcis. Uniknya, kondektur menarik bayaran dengan cara membunyikan tabung panjang yang merupakan tempat peyimpanan uang koin juga alat untuk merobek karcis. Oiya, untuk menikmati perjalanan menggunakan bus umum ini Anda harus membayar 6,5 Baht/orang.

Keadaan bus yang tadinya cukup lengang, kini telah penuh sesak tak kalah dengan keadaan metromini Jakarta. Sampai saya memperhatikan seorang ibu paruh baya berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Saya pun mempersilakannya duduk di bangku saya.

"Cern krab" (silahkan) saya berdiri dan menunjuk bangku mempersilahkannya. Beliau tentu menyambutnya dengan senyum lebar. Lumayan, setidaknya bisa belajar mengaplikasikan frasa-frasa pendek bahasa Thai. That's the point! ;)

Notes: Anda dapat juga menggunakan kalimat "Nang si krab/kha" yang berarti silahkan duduk.

Karena sedari tadi lebih banyak diam dan sekalinya berbicara menggunakan bahasa Thai yang terbatas, akhirnya ibu kondektur pun memberitahu saya bahwa sebentar lagi kami akan sampai di MBK dalam bahasa Thai. Ya, saya mah bilang 'krab-kbrab-krab' aja akhirnya, hehe

Perempatan besar kawasan Pathum Wan


Rupanya kami diturunkan di perempatan besar kawasan Pathum Wan. Begitu turun dari bus pun kami sudah berada di depan Siam Discovery Bangkok. Salah satu mal besar kawasan Siam di mana di dalamnya terdapat Galeri Madam Tussaud. -sekarang saya cuma bisa berdiri terpaku memandang poster besar Madam Tussaud, tapi suatu saat saya berharap bisa masuk ke sana untuk berfoto dengan patung lilin aktor juga aktris Thailand favorit saya, Ken Theeradej dan Anne Thongprasom #citacita amin,

MBK sendiri berada di salah satu sudut persimpangan jalan itu. Kami pun menyusuri jembatan penyeberangan (pedestrian overpass) yang menghubungkan sisi jalan yang satu ke yang lain bahkan tersambung hingga ke stasiun BTS Skytrain National Stadium juga sekaligus bisa langsung menuju ke salah satu pintu masuk MBK di lantai dua dan tiga.

MBK (Mahboonkrong)


MBK. Bangunan delapan lantai sepanjang 33m meter dengan kurang lebih 2.500 toko dalam area seluas 89.000 meter persegi yang didirikan pada tahun 1985 ini pernah dinobatkan sebagai Mal Terbesar di Asia. Wiiihhh...

Dengan percaya diri kami berjalan memasuki MBK. Di pintu sudah ada dua penjaga dengan metal detector di tangan. OMG. Kebayang nggak sih, gendong-gendong backpack besar terus jalan-jalan di mal? Nekad! But, yes we did. Kami pun dipersilahkan untuk memperlihatkan isi tas. Sejenak kami turunkan ransel saya dan menunjukkan isinya yang 'umplek-umplekan'. Aman. Tidak ada kolor yang berceceran :)

Selepas pintu masuk saya melihat rak kecil yang menyediakan free map directory MBK. Ambilah. Niscaya kita tak akan hilang arah. Di sana informasinya cukup lengkap. Anda dapat dengan mudah menemukan tenant-tenant penjual barang yang diinginkan. Berbelanja menjadi semakin mudah karena di tiap lantai sudah terklasifikasi menurut jenis produk. Semisal lantai 6 adalah tempat belanja souvenir dan barang kerajinan Thailand, sementara di lantai 7 adalah pusat hiburan.

Saat menemukan meja informasi kami pun menghampirinya dan menanyakan di mana tempat penitipan barang yang biasa disebut left luggage atau bag deposit. Kami tentu tak ingin terus-terusan menggendong backpack ke manapun kami pergi. Terlebih di dalam mal seperti ini. Jika Anda mengalami hal atau keadaan yang mendesak sehingga Anda harus menitipkan barang bawaan yang segambreng, segeralah menuju Bag Deposit di MBK lantai 6. Titipkan barang Anda di sana. Kabar baiknya: It's F-R-E-E of charge! Kita hanya akan dimintai data diri (nama, nomor identitas paspor, dan nomor telepon yang dapat dihubungi). Penitipan ini buka dari pukul 11 siang sampai 9 malam. Jadi disarankan sebelum lewat jam operasinya ambilah kembali barang yang Anda titipkan.

Usai menitipkan barang kami pun segera mengeksplorasi MBK! Dan yang terpenting adalah mencari mesin ATM, masukkan kartu, beberapa kali menekan tombol, dan... money comes to papa!

Melihat keberhasilan saya tarik tunai di mesin ATM, Indra pun memutuskan untuk turut serta mencobanya. Tapi sayang, meskipun di kartu debit miliknya terdapat logo Visa namun penarikan uang tidak dapat diproses. Apakah mungkin karena jaringan perbankan syariah belum menjalin hubungan kerja sama? Akhirnya Indra menukarkan uang rupiah yang dia punya di money changer tak jauh dari mesin ATM tadi. Awalnya kami senang, bekal uang Baht kami bertambah. Namun setelah dihitung-hitung ternyata nilai tukar rupiah dihargai sangat rendah! Dari perbandingan perhitungan nilai rupiah dalam penarikan tunai ATM dan currency exchange, saya rasa penarikan tunai ATM mungkin bisa dijadikan alternatif pilihan. Karena memang penukaran rupiah di money changer negara tujuan akan sangat jeblok nilai tukarnya. Jadi disarankan tukar rupiahnya di Indonesia saja sebelum berangkat ke luar negeri atau Anda menukarkan rupiah Anda dengan US Dollar yang mempunyai nilai tukar lebih stabil dan harga OKE.

Meski transaksi tadi menambahkan Baht ke dalam kantong kami, tapi kami berusaha untuk menutup mata dan telinga agar tidak tergoda membeli ini itu. Padahal MBK ini terkenal sebagai pusat perbelanjaan yang direkomendasikan karna harga yang ditawarkan cukup terjangkau semua kalangan. Anak sekolahan aja sampai banyak yang terlihat berlalu lalang di sana -entah untuk sekadar nonton, makan, nongkrong atau bolos sekolah.

Chiang Mai menanti kedatangan kami. Hari pengelanaan pun masih panjang. Galau finansial sementara terobati. Well, semoga dalam keterbatasan ini kami masih bisa membayar kebutuhan akomodasi, transportasi, makan, minum, tiket masuk kunjungan, jajan, dan ingin rasanya membawa sedikit oleh-oleh untuk keluarga di rumah.

Setidaknya, menunggu tak lagi menjadikan resah hati. Bersabarlah, maka kepastian itu akan nyata bahkan bisa jauh lebih baik dari apa yang kita bayangkan. Menunggu bus yang tak kunjung datang berakhir bahagia kala harga karcisnya yang jauh lebih murah dari informasi yang saya dapatkan sebelumnya. Menunggu waktu tiba di mana saya ber #citacita untuk mengunjungi Madam Tussaud menjadi satu dari sekian alasan saya untuk kembali mengunjungi Thailand. Menunggu teratasinya galau finansial dalam perjalanan dengan tetap berpikir positif nyatanya bisa terobati meski harus berkeputusan nekad.

Inilah hal yang sudah sepantasnya dinikmati. Bukan hanya kepada objek wisatanya tapi cerita yang membalut perjalanan kita. The thing which is kinda adventurous stuff that i'll always miss.

Komentar

  1. *melanjutkan dari komenku sebelumnya*

    sama-sama.Ini kamu ke Thailandnya sama berapa orang?

    Coba aja kirim tulisanmu ke Hifatlobrain lho Hep(eh kamu tahu Hifatlobrain kan? Soalnya setahuku kamu pernah nge-RT twit temenmu soal Hifatlobrain..)

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya berdua aja sama temen kuliah Yul.

      sip-sip, iya tahu Yul. thanks masukannya. coba ntar doain yah ada wangsit jadi bisa bikin tulisan bagus terus bisa dimuat di media. Amin

      saya tunggu kunjungan & komentar kamu selanjutnya hehe ;)

      Hapus
  2. AAAAAA KEREN BANGET KAK HEPI!!!!!!!enak bgtsih jalan2 trs-_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. aaaaa Rhynooooo
      khoop khun kraaaaappp :D

      ayo, kamu juga jalan-jalan dong! terus nanti sharing-sharing deh kita,

      Hapus
  3. hi... bener ya, di MBK bisa titp koper kita gratis? nakasih infonya

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya bener kok, cuma layanan ini bukanya pagi jam 11 sampe jam 9 malam dengan modal isi form data nama paspor + contact yang bisa dihubungi :)

      Hapus
    2. wah asyik! saya soalnya Juni 2014 berencana mampir cuman sekitar 7 jam di Bangkok setelah dari Kamboja sebelum terbang jam 21.00-an... semoga layanan ini masih berlaku sampe sekarang ya ^_^ nice post

      Hapus
    3. insyaAllah masih ada kok :)

      hati-hati ya... semoga kemelut di sana segera berakhir, biar bisa jalan-jalan dengan aman,

      happy traveling!

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain