Langsung ke konten utama

Backpacking Thailand: when culture and modernization coexist in harmony


2 Maret 2012
Part 3: love to make a friend


Adegan tokoh vilain yang tengah memukuli seekor kucing hitam mencuri perhatian saya. Saya sedang menonton tayangan serial "Lakorn" Thailand atau biasa disebut dengan sinetron di Indonesia. Rasa ingin tahu saya mengenai kelanjutan ceritanya membuat saya tidak berganti saluran televisi. Begitu si kucing malang terkapar tak berdaya usai dipukuli, perempuan berparas cantik namun antagonis itu pergi dan menghilang di balik pintu. Lalu tanpa terduga, tokoh perempuan lain yang tak kalah cantiknya datang menghampiri dan langsung menangis sedih melihat keadaan si kucing tadi. Saya atau bahkan Anda pun saya rasa mengenali aktris yang satu ini. Pemilik nama lengkap Pimchanok  Leuvisadpaibul, atau yang biasa disapa Baifern, adalah pemeran Nam dalam film komedi romantis Thailand "Crazy Little Thing Called Love" yang sempat happening banget di seantero tanah air Indonesia dan pastinya berhasil membuat banyak pria jatuh hati padanya. Wah, betapa bahagianya saya bisa menyaksikan keahliannya berakting dalam sinetron yang secara langsung saya tonton di negara asalnya, Thailand! Saya pun menjadi semakin antusias. Ketika kemudian adegan tadi berlanjut dengan teriakan dan isak tangis Baifern menangisi si kucing, dia yang tak tega melihat apa yang ada dihadapannya memanggil-manggil nama tokoh lain yang ternyata datanglah tokoh perempuan dengan penampakan layaknya seorang nenek sihir berhati baik. Baifern pun memintanya untuk menolong si kucing hitam. Tak berapa lama, penyihir mengayunkan tongkat dan berubahlah si kucing hitam tadi menjadi sesosok pria, yang merupakan teman dari Baifern, mengaduh kesakitan. Lucunya, efek grafis yang diberikan sangat mirip dengan 'efek Indosiar' yang sangat terkenal di negara kita. Yah, walaupun jujur saya sedikit menyanyangkan Baifern melakoni seni peran atas sebuah serial drama yang 'berbau naga-naga' semacam itu, namun di sisi lain hal ini mengusik keingintahuan saya, apakah sinema Indosiar telah berhasil melebarkan sayap ke negeri seberang?

***





Kembali kami mengarungi jalanan dan berlari kecil menuju dermaga yang terletak sekitar 150 meter dari Wat Pho. Tha Tien Pier, adalah salah satu dermaga yang berada di sepanjang aliran sungai Chao Phraya. Dari sini kita akan manaiki kapal/boat untuk menyeberangi sungai besar yang membelah Bangkok ini dengan membayar 3 Baht sekali jalan (PP 6 Baht/orang) sehingga dapat menggapai Wat Arun, The Temple of Dawn. Meskipun bernama demikian, namun pesona Wat Arun ini justru dapat kita nikmati keindahannya ketika senja tiba. Itulah sebabnya mengapa kami memilih waktu berkunjung pada sore hari.

Kami melintasi sebuah pasar sebelum akhirnya sampai di pintu masuk dermaga. Cukup ramai suasananya. Pernak-pernik khas Thailand yang dijajakan terlihat begitu menggiurkan. Kami bersegera membayarkan uang di loket penyebrangan dan kemudian duduk di kapal sambil menikmati riuh rendah riak air sungai yang menimbulkan guncangan-guncangan kecil. Bangku-bangku kosong satu per satu terisi penumpang yang berdatangan. Saat menanti kapal diberangkatkan, tanpa sengaja Indra 'menemukan' wisatawan dari Indonesia. Saling bertegur sapa dan berbincang ketika perlahan kapal bergerak meninggalkan dermaga. -Belakangan baru saya tahu, Indra sengaja mengeraskan suaranya saat berbicara kepada saya untuk 'memancing' kakak-kakak perempuan yang diduga Indra sebagai wisatawan asal Indonesia. Dan benar saja, dia langsung terpancing dan mengakrabkan diri. Oh, sist.. you have been tricked!

Tha Tien Pier

(tampak belakang) pasar sebelum loket pintu masuk dermaga Tha Tien

Chao Phraya River view from our boat

here we are! dermaga Wat Arun


Tak berapa lama kapal telah kembali sandar di dermaga seberang. Penumpang berduyun meninggalkan dermaga melangkahkan kaki menyebar ke area Wat Arun yang sudah ada di depan mata. Tak sabar rasanya ingin segera mengeksplorasi salah satu a-must-see object bila mengunjungi Bangkok ini.

Wat Arun from Chao Phraya River


"Wat Arun (bahasa ThaiวัดอรุณCandi Fajar) adalah candi Buddha (wat) yang terletak di distrik Bangkok Yai di BangkokThailand, tepatnya di barat hulu sungai Chao Phraya. Nama panjang dari candi ini adalah Wat Arunratchawararam Ratchaworamahavihara (วัดอรุณราชวรารามราชวรมหาวิหาร). Wat Arun Rajwararam atau Temple of Dawn, diberi nama setelah Aruna, India God Dawn. Wat Arun dianggap salah satu yang paling terkenal dari banyak landmark di Thailand. Untuk turis asing, biaya masuk ke sini mulai dari THB 50 (per September 2010)." - Wikipedia

Siapkan uang lebih bila Anda ingin mengenakan baju tradisonal Thailand yang di sewakan tidak jauh dari loket penjual tiket. Dengan 100 Baht Anda akan didandani sedemikian rupa hingga Anda dapat menikmati bagaimana rasanya menjadi orang Thailand sehari dan mengabadikannya dalam sebuah foto berlatar megahnya Wat Arun.

Ketika awal memasuki kompleks Wat Arun, tepat di pintu masuk beberapa wisatawan terlihat antri untuk berfoto bersama figur biksu berbadan subur yang terbuat dari lempengan tembaga berwarna emas. Kami pun tak mau ketinggalan. Meski berada di akhir barisan, kami masih tetap antusias untuk dapat berfoto di objek tersebut. Kapan lagi gitu bisa pegangin pusar biksu? hehe Di depan patung biksu tersebut terdapat beberapa kotak-kotak donasi.

poster figur Raja yang dapat Anda temui di berbagai sudut kota

kompleks Wat Arun (dari luar pagar)
  
Golden Monk

Kompleks Wat Arun sendiri terdiri dari sebuah bangunan stupa utama yang disebut Phra Prang (Khmer-style tower) bertahtakan pecahan porselen warni-warni dengan kelilingnya mencapai 234 meter dan tinggi sekitar 250 kaki (76 meter) yang dikelilingi oleh empat prang satelit yang lebih kecil (menyerupai chedi) di keempat sudutnya. Bangunan utama ini memiliki teras berundak seperti Borobudur yang dapat kita capai dengan mendaki tangga penghubung. Berhati-hatilah karena perundakan anak tangganya cukup curam! Semilir angin yang menerpa pun makin menambah pacu adrenalin bagi Anda saat menapaki satu demi satu anak tangga dengan tingkat kemiringan lebih dari enam puluh derajat! Keberanian Anda akan terbayar ketika berhasil mencapai tempat yang cukup tinggi ini. Begitu sampai di balkon atas, pemandangan kota Bangkok yang terbelah sungai Chao Phraya akan memanjakan mata Anda. Phrang utama terbagi menjadi tiga simbol tingkatan. Bagian dasarnya disebut Traiphum yang melambangkankan alam kehidupan, bagian tengah disebut Tavatimsa yang melambangkan keinginan yang disyukuri, dan bagian puncak disebut Devaphum yang melambangkan enam surga dengan tujuh alam kebahagiaan.  Pada puncak phrang utama ini, terdapat tujuh cabang trisula yang sering disebut sebagai "Trident of Shiva".


Phra Prang

Layaknya punden berundak dengan tangga yang curam

Grand Palace, Chao Phraya & city view of Bangkok from top balcony



Prang Satelit

Grand Palace from another side of Chao Phraya River

Kami lihat banyak wisatawan yang meninggalkan coretan-coretan jejak penanda di kain yang terbentang melingkari phrang utama tersebut. Segera kami menyiapkan pena untuk turut mengukir kata, namun seorang gadis Thai nan cantik menghampiri kami. Dengan yakin dan penuh percaya diri dia bercuap-cuap dalam bahasa Thai. Melihat kami yang masih diam melongo, raut mukanya pun berubah. Dia pun terlihat lebih takjub dan heran luar biasa. Barulah sang ibu yang berdiri tak jauh dari tempat kami meneriaki bahwa dia ingin meminjam pena untuk menulis kata di kain pelindung. Kami pun hanya tersenyum satu sama lain kemudian. *nyengir*

She is her! -my left side

Kalau dilihat-lihat, hampir seluruh permukaan prang dihiasi dengan pecahan porselen yang merupakan sekumpulan benda-benda di mana dulunya digunakan sebagai alat pemberat ketika kapal-kapal dari Cina berlabuh di Bangkok. Terbukti, beberapa figur tentara dan hewan ala Cina di beberapa sudutnya menjadi 'penjaga' selain patung-patung barisan demons & monkeys yang juga mengawal bangunan megah ini.






Komplek Wat Arun ini mulai dibangun pada masa pemerintahan Raja Rama II, 1809 - 1824, yang kemudian diselesaikan oleh Raja Rama III pada tahun 1851. Konon, abu jenazah dari Raja Rama II disemayamkan dibawah patung figur Buddha Utama di sana.

***

courtesy of Ayu M.
Usai mengeksplorasi kompleks bangunan phrang yang menjadi ikon utamanya, kami pun jalan berkeliling sampai akhirnya kami memutuskan untuk duduk-duduk santai sambil mengistirahatkan kaki di teras depan sebuah bangunan di belakang phrang utama. Tetiba seorang kakak perempuan yang tadi sempat ngobrol sebentar sama Indra di kapal penyeberangan menghampiri kami. Dia membuka percakapan waktu itu. Dan tak butuh waktu yang lama untuk kemudian perbincangan berlanjut ke mana-mana. haha

Saya sangat senang ketika bisa menemukan rekan sesama pejalan dari Indonesia. Namun, kakak yang satu ini BEDA. Namanya, Ayu. Dengan penuh semangat dia ceritakan perjalan dia selama di Thailand ini. Rupanya dia datang lebih cepat satu hari dibandingkan kami. Dia mengaku bahwa penjelajahan Thailand dihabiskannya dengan seorang rekan perempuannya. Mereka berdua adalah wanita karir yang bekerja di perusahaan telekomunikasi di Jakarta dan suka sekali traveling! Banyak hal yang diceritakannya. Kami lebih banyak diam mendengarkan dan sesekali memberi tanggapan atas cerita-ceritanya yang menarik. Hingga tak terasa, senja menjelang dan nampaknya keadaan sekitar begitu sepi. Karena saya pikir area ini akan segera ditutup, akhirnya saya mengusulkan untuk segera menuju pintu keluar saja. -nggak lucu dong masa kita dikunciin #yakali haha

Begitu keluar pagar dari kompleks bangunan phrang nan megah tadi, kami bertiga berjalan menghampiri seorang perempuan yang tengah duduk menanti di bawah pohon. Bukan kuntilanak! Tapi dia adalah travel partner-nya kak Ayu. Kami pun dikenalkan padanya. Namanya, Kak Yayang. Pembicaraan yang sempat terputus tadi akhirnya berlanjut. Kali ini tentu semakin bikin geregetan! Karena kak Ayu menjadi lebih beringas membagi kisah perjalanannya dan diaminkan oleh kak Yayang. Mereka berdua menceritakan perjalanan mengunjungi negara ini itu dan anu. Pada ngakunya sih newbie, tapi beuh...udah ada berapa stempel itu di passport-nya? hehe Duh! Jadi iri. Pengen cepat kerja dan nabung buat traveling! #salahmotivasi

Hari yang beranjak gelap akhirnya memaksa kami untuk segera mengakhiri kunjungan. Lagi pula sunset yang ditunggu-tunggu tiada pula menampakkan semburatnya di siluet Wat Arun. Kembali kami menyeberangi sungai Chao Phraya senja itu. Dari kapal kami mendapati sang surya yang hendak kembali ke peraduannya. Sayang, dia berada di sisi lain yang jauh dari Wat Arun. Begitu kapal merapat di dermaga Tha Tien, kami melenggang bersama melintasi pasar dan akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan pulang melalui sisi belakang tembok Grand Palace. Sepanjang jalan kami masih saja meneruskan diskusi kami tentang...apalagai kalau bukan, traveling! Lumayan menambah ilmu juga dengan adanya tips & trick kecil yang mereka bagikan kepada kami. Bahkan sampai sekarang saya pribadi masih sering diskusi kecil, tentang traveling tentunya, bersama Kak Ayu ataupun Kak Yayang meskipun sevatas via dunia maya (y) -thank you yah... :D

Sunset!


Grand Palace in the evening

Monumen Gajah Pink! di persimpangan jalan dekat Grand Palace


Di balik tembok besar Grand Palace inilah pesona senja menggoda kami. Tak ingin kehilangan momen indah yang dihadirkan Sang Mahakuasa, shutter kamera tiada hentinya mengabadikan suasana. Kilau bangunan Grand Palace ditimpa cahaya senja dan lampu penerangnya benar-benar mencuri perhatian. Kami pun mencoba mengambil gambar diri. Dari awalnya malu-malu, sampai akhirnya udah nggak karuan lagi bergaya di depan kamera. Bahkan saking niat banget buat berfoto berempat, kak Ayu pun akhirnya meminta tolong pada seorang fotografer yang juga tengah mengambil gambar Grand Palace dengan background gradasi warna langit yang menawan.

with Kak Ayu | courtesy of Ayu M.

with Kak Yayang | courtesy of Ayu M.   

Indra, Kak Yayang, Me, Kak Ayu | courtesy of Ayu M.

courtesy of Ayu M.

courtesy of Ayu M.

courtesy of Ayu M.

Kembali kami menyusuri trotoar yang di beberapa titik menjadi pusat bazaar malam dadakan! Kami terus berjalan meski sedikit tergiur dengan dagangan yang ditawarkan. Setelah beberapa kali menyeberang, melewati monumen Gajah Putih di tengah persimpangan jalan, tibalah kami di mulut gang yang tampak hiruk pikuk kemeriahannya.

Khao San Road in the night


"Walah... jadi ini tadi bisa langsung tembus Khao San Road?" Saya masih tak percaya jalanan yang kami tempuh tadi rupanya membawa kami menuju Khao San Road dan ternyata cukup dekat juga ya... #barutahu

Rasa lapar pun akhirnya menggelitik perut kami. Sepakat, kami pun mencari santap malam di Khaosan Road sembari menikmati riuh rendah gemerlap Khao San Road di malam hari. Belum begitu hectic memang suasananya. Tapi yakinlah, semakin malam semakin ramai saja dentuman musik dan pengunjung yang lalu lalang. Cafe, bar dan resto di sepanjang jalan dengan beragam kios, lapak, dan gerobak dorong dengan berbagai hal yang dijajakan cukup menyumbangkan kemeriahan yang menyeruak di sepanjang gang kecil pusat backpacker dunia ini. Wah, ada yang jual belalang, kalajengking dan beberapa jenis serangga 'menyeramkan' yang digoreng! -Meski malam itu saya tidak jadi makan belalang goreng, akhirnya saya merasakan juga makan belalang goreng saat pagelaran Festival Budaya Nusantara di kampus belum lama ini. Rasanya, gurih! Akhirnya pilihan kami jatuh pada Pad Thai gerobak dorong seharga 50 Baht/porsi. Karena tak jauh dari gerobak itu kami melihat meja kursi yang tertata rapi, kami pun menghambur untuk menempatinya sembari menunggu makanan kami selesai dibuat. Lalu datanglah seorang pria yang menanyai kami hendak minum apa. Lha ternyata meja kursi ini adalah bar milik si bapak itu dan sama sekali tidak terintegrasi dengan gerobak penjual Pad Thai tadi. Kita boleh saja duduk di sana, tapi ya minimal order satu minuman lah. Tapi masalahnya kami tidak minum bir, hehe jadilah kami berdiri menunggui ibu muda yang tengah asik mengolah Pad Thai pesanan kami. Begitu masing-masing dari kami telah memegang seporsi Pad Thai yang dihidangkan di piring plastik tipis, kami pun menyantapnya dengan berdiri di sekitar gerobak itu sebelum akhirnya kami memutuskan untuk 'ngemper' duduk di trotoar depan sebuah cafe di seberang jalan. Dengan lahap kami menyantap Pad Thai tersebut. Hampir setiap pengunjung yang lalu lalang melihat ke arah kami. Rasa lapar mengalahkan rasa malu! Tapi seru loh. You have to try! :D

Kalajengking, Belalang, dan serangga lain yang digoreng

Pad Thai Khao San Road 50 Baht/portion

Setelah menyikat habis makan malam kami, Kak Ayu dan Kak Yayang pamit undur diri terlebih dahulu untuk kembali ke penginapannya yang juga berada di Khao San. Mereka berencana untuk bersih diri dulu sebelum melanjutkan belanja-belenji menghabiskan malam di Khao San Road. Memang cukup murah pernak-pernik yang dijajakan. Apalagi travel stuff, seperti dry bag misalnya, yang harganya jauh lebih murah daripada beli di Indonesia. Makanya ada beberapa item titipan dari teman-temannya yang hendak dibeli di kios-kios sepanjang Khao San Road. Saya dan Indra pun menawarkan diri untuk mengantar mereka kembali ke penginapan. Nah, begitu kami berdiri hendak beranjak dari tempat kami duduk tadi, seorang mas-mas mendekati kami sambil menyodorkan brosur "Pussy bla-bla-bla Show". Lah saya yang tadinya nggak ngeh, begitu melihat lembaran kecil brosur itu pun langsung membelalakkan mata! "No, Thank you!"

Memang di Khao San banyak terdapat berbagai macam penjaja barang dan jasa. Anda tentu akan senang bila bisa menikmati relaksasi pijat ala Thai Massage yang sangat terkenal itu dengan harga yang sangat terjangkau. Kita dapat dengan mudah menemukan sederetan orang yang sandaran di kursi panjang dengan wajah keenakan menikmati Thai Massage di pinggir jalan. Sementara 'pussy show'nya saya belum bisa memberikan informasi yang lebih jauh lagi ya... Belum berpengalaman dan memang saya masih di bawah umur, hehe ^^v

Saya dan Indra pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke penginapan saja karena memang sudah seharian kami menghabiskan waktu di jalan. Saat berjalan ke penginapan kami di Soi Rambuttri, rupanya kehidupan malam di gang kecil yang satu ini juga menggeliat. Ya meskipun tak lebih meriah dari suasana di Khao San Road, namun justru yang kami temui di Soi Rambuttri ini lebih tenang dan sesuailah dengan pilihan kami untuk menginap di sini.

Malam itu kami habiskan dengan rebahan di atas kasur sambil menikmati tontonan televisi. Meski hati masih sedikit galau atas apa yang akan terjadi esok hari. Ya, kami belum menentukan secara pasti ke mana selanjutnya kaki akan melangkah. Keuangan kami benar-benar kritis.


Bagaimana kami melanjutkan sisa itinerary untuk LIMA hari ke depan? see you in the next episode! ;)

Komentar

  1. ndaa.. iku potomu karo golden monk merupakan contoh kontras yang nyata...(?)

    BalasHapus
    Balasan
    1. err... don't you notice that i was so stunning in that photograph? haha

      makanya nda, kasih aku semangat biar rajin makan... (?)
      thank (anyway) for visiting!

      Hapus
  2. Hahaha... next part next part
    #eh.. tukeran link blog :D.. link mu dah terpasang kuat di blog ku..

    BalasHapus
    Balasan
    1. siaaappp, ditunggu yah. ini udah ada draft untuk postingan selanjutnya kok hehe...

      okok, bentar saya pasang :)
      thanks yah,

      Hapus
  3. ini versi gw:http://indramadhan.blogspot.com/

    *promosi Hahahaha
    *kabuur

    BalasHapus
  4. haha perkenalkan, ini Indra.

    :D

    BalasHapus
  5. Hahaha, bagus banget artikelnya, aku jadi kepengen kesana deh (nagih janji masku!!!) :D

    Kueren pokok'e rek... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha thanks,
      nagih janji? aku kan nggak janji mau ngajak ke Thailand :P

      udah belajar yang bener dulu, sekalian nabung buat bikin paspor biar nggak ngrepotin emak bapak. oke? :)

      Hapus
  6. kamu ngomong efek-efek Indosiar,jadi inget jaman sinetron dari Filipina dulu.. efeknya lumyn Indosiar juga :D

    Hepi,tulisanmu pernh dikirim ke majalah travel/travel blog gitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. pertama, thanks berat udah mau mampir,
      kedua, thanks lagi udah mau ninggalin komentar :D

      sinetron dari Filipina? wiiih seperti apa bentuknya? hehe

      hm, belum pernah dimuat yul, hehe ini sedang belajar dan mengusahakannya. Doain yah, amin
      terima kasih

      Hapus
  7. bagusss...saya tunggu episode selanjutnya...hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain