Langsung ke konten utama

dipepet preman


10 Juli 2012

Di dalam metro mini 71 arah Blok M. Masuklah segerombolan pemuda (anak jalanan) yang hendak mengumpulkan rupiah dengan mengharapkan belas kasihan dari para penumpang.

Saya duduk sendiri di bangku nomor dua dari belakang dekat jendela. Di belakang saya ada sekelompok pengamen kesenian full make up. Kalau saya dengar dari percakapan mereka, rupanya mereka adalah sebagian kecil penduduk jawa yang nekad merantau mengadu nasib di ibukota.

Nah, gerombolan pemuda (anak jalanan) tadi entah bagaimana seperti merapatkan barisan ke belakang. Bahkan satu dari mereka duduk tepat di sebelah saya. Saya santai saja. Kedua telapak tangan pun siap saya katupkan untuk meminta maaf karena tak ada receh yang hendak saya bagikan. Masih mending kan kalau mereka ngamen, jadi ada sesuatu yang sepantasnya saya berikan sebagai penghargaan atas usahanya.

Ada sedikit keributan di sebelah saya. Rupanya kelompok pengamen kesenian tadi hendak membagi rejekinya kepada pemuda (anak jalanan) itu tapi mereka menolak pemberian tersebut. Sementara perwakilan pengamen jawa tetap memaksa bahkan menarik telapak tangan salah satu anak jalanan tadi dan memberikan uangnya. "Udah terima aja, sama-sama nyari duitnya. Nggak apa-apa", demikian kata delegasi pengamen jawa tadi.

#deg

Subhanallah sekali, dalam keterbatasan mereka masih tetap mau berbagi. Salut untuk kelompok pengamen jawa tadi. Dari sikapnya dan keseruan percakapan mereka di bangku belakang metromini memang tampak bahwa mereka berpembawaan menyenangkan.

Kemudian anak jalanan yang duduk di sebelah memberitahu temannya bahwa saya hendak memberi uang. Lah, wong sedari tadi saya diam saja. Dia kemudian berdiri lalu digantikan temannya yang lain duduk di sebelah saya. Akhirnya dia dan teman-temannya ngeroyok memojokkan saya memaksa saya untuk memberikan uang. Saya masih keukeuh menggelengkan kepala sambil meminta maaf.

"Ayolah, berikan uangnya..."

"Maaf, mas saya tidak ada"

"Ayo, mana uangnya...", yang di depan saya mulai meraba tas di pangkuan saya. Si anak sebelah turut bersemangat mengamini permintaan temannya. Karena terus, terus dan terus dipepet, saya pun akhirnya membuka saku kecil tas saya dan merogoh kocek sekenanya.

"Adanya ini aja mas...", kata saya sambil menyodorkan dua keping koin 500 perak.

"Ah masa cuma segitu, keluarkan yang lainnya..." mereka masih merasa kurang. Sampai akhirnya saya tunjukkan saku kecil tas saya itu. Saya berusaha meyakinkan mereka kalau memang uang saya tinggal beberapa lembar 2000-an. Itu juga mau buat ongkos.

Anak jalanan di sebelah saya sedari tadi menyembunyikan tangannya di balik jaket yang diletakkan menutupi lengannya. Saya baru sadar ternyata dia mencoba meraba-raba saku celana saya. Ya ampun, digrepe-grepe preman -,-

Beruntung saya memakai skinny jeans, jadi susah juga buat dia untuk menarik dompet saya. Saya pun berusaha menghalau tangannya dengan siku tangan kiri saya.

Mereka masih saja memojokkan saya. Bahkan si anak sebelah meminta KTP saya. Lha buat apa coba?

"Hehe, saya masih kecil bang. Masih sekolah..." saya BERBOHONG. Parahnya, dia PERCAYA.

"Kalau gitu, mana kartu pelajarnya? Sini kasih lihat. Nggak akan saya ambil kok, saya cuma mau tahu aja. Ayo, mana keluarkan", he insisted.

"Nggak bang, nggak usah", saya menggelengkan kepala. Terus menggeleng karena terus didesak.

"Mau ke mana?", tanyanya kemudian.

"Blok M bang", jawab saya singkat.

"Mau ngapain? Kerja?", dia melanjutkan.

"Enggak bang, mau ketemu temen", saya ngasal.

Menjelang lampu merah Bulungan, temannya yang lain mengajaknya turun. Mereka semua pun akhirnya keluar kembali ke jalanan. Sebelum turun si anak sebelah tadi sempat bilang,"Maapin ye, maap-maap. Kagak ada maksud kita".

#deg

Lha kok? *speechless*

PS: Tulisan ini dibuat di dalam bus Transjakarta, dari Blok M menuju Harmoni, sesaat setelah kejadian.

Komentar

  1. Kok serem sih nda?! Lain kali hati2, mending cari tempat duduk yg ada temane.

    *Ih, kamu udah ternoda sama preman.. (?)

    BalasHapus
    Balasan
    1. err... ya tadinya juga ada penumpang di sebelah, cuma kan orangnya udah turun. nggak serem kok nda, bisa jadi pembelajaran malah. hehe

      soal NODA, back to the tagline: "berani kotor itu, BAIK" hahahahaha, ups. *loh salah iklan

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain