Langsung ke konten utama

Family Trip goes to Pacitan: Rumah SBY

"Presiden Juga Manusia Biasa"

Masih dalam suasana lebaran kali ini (31/8) saya dan keluarga berkesempatan untuk bersilaturrahmi mengunjungi rumah seorang tokoh nomor satu di Indonesia, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono atau biasa dikenal dengan sebutan SBY. Rumah tersebut merupakan tempat tinggal SBY dari masa kanak-kanak hingga remaja yang terletak di Lingkungan Blumbang, Kelurahan Ploso, Kecamatan/Kabupaten Pacitan (sekitar 5 menit dari pusat kota).



Rumah SBY


Begitu mobil berhenti di depan sebuah pekarangan rumah, saya masih belum menyadari bahwa rumah sederhana bergaya joglo di sisi kiri mobil adalah rumah SBY. Seorang lelaki paruh baya datang mendekat untuk menyambut kedatangan kami. Dengan sigap beliau membukakan pintu rumah yang semula tertutup begitu mengenali wajah di balik kaca mobil. Tante Sri adalah adik kandung Bapak saya yang kebetulan bertempat tinggal di Pacitan -dan tentu menjadi tour guide dalam family trip kali ini. Rupanya beliau sudah akrab betul dengan bapak penjaga rumah SBY tersebut.

Saya tidak menemukan serambi di rumah itu. Pintu dengan dua jendela di kanan-kirinya menjadi satu-satunya akses untuk keluar-masuk. Dari halaman rumah saya menuju pintu tersebut dan memasuki sebuah ruangan yang cukup luas, layaknya balai-balai, dengan empat tiang penyangga utama berikut 'tiang-tiang satelit' penopang kubah atap joglonya yang tinggi. Ruang tersebut nampaknya difungsikan sebagai galeri fotografi SBY. Berjalan dari pintu ke tengah ruangan disambut beragam potrait kegiatan SBY yang terabadikan dalam foto-foto berukuran besar di sisi kiri dan kanan menjadi daya tarik tersendiri.


Ruang Galeri Foto




Satu set Gamelan mengisi hampir seluruh sudut sisi kanan ruangan. Bapak pun tetiba minta difoto bersama gamelan itu. Sementara di sudut kiri terdapat meja registrasi tamu yang berkunjung -berkunjung ke tempat ini tidak dipungut biaya, cukup mengisi buku tamu saja. Terlihat tante Sri tengah sibuk mengisi buku tamu. Saya menghampirinya yang justru sejurus kemudian penjaga rumah tadi mengajak saya ke sudut ruang menuju pintu di sebelah meja registrasi tersebut. Beliau membukakan pintu itu seraya berkata,"inilah kamar Pak SBY sewaktu dulu".

Kamar SBY sewaktu SMA

Terlihatlah sebuah ruang berukuran sekitar 1 X 2 meter dilengkapi tampat tidur tunggal dan sebuah meja kecil di pojokan. Saya berdiri terpaku mengamati ruang sempit itu. Sampai akhirnya bapak penjaga tadi mempersilakan masuk dan menyarankan saya untuk duduk berfoto di atas kasurnya pak SBY. Entahlah, baru sekali ini saya menemukan orang yang over welcoming begini. Saya pun menuruti saran beliau dengan malu-malu, sementara Bapak yang juga excited sudah bersiap di belakang kamera untuk mengambil gambar saya #awkwardmoment




Memasuki ruang berikutnya melalui pintu tengah, kita bisa melihat foto Ayah dan Ibu SBY di dinding sebelah kanan dan kirinya berikut lambang Garuda Pancasila diapit foto Presiden Indonesia (SBY sendiri) dan Wakil Presiden Boediono di dinding atas pintu. Di ruang tengah ini terdapat meja kursi dinaungi empat tiang penyangga dengan langit-langit lebih rendah daripada ruang sebelumnya. Dua Kepala Kijang dan foto kedua orang tua SBY menghiasi ruangan berlatar dinding pembatas yang terbuat dari kayu itu. Beberapa meubelair juga mengisi ruang. Pada sisi kanan ruang terdapat sebuah kamar tempat penjaga rumah tersebut biasa tidur, sedangkan di balik dinding pembatas kayu tadi terdapat ruang kosong dengan sebuah kamar mandi di salah satu sudutnya.

Pintu menuju ruang tengah

ruang tengah


Menikmati kesederhanaan di tempat yang pernah menjadi tempat tinggal pemimpin negeri ini dapat menjadi sebuah wisata yang menumbuhkan motivasi untuk dapat terus mengembangkan diri tanpa harus merasa terbatasi materi.

*temukan juga artikel ini di detikTravel

Komentar

  1. dulu tinggal di rumah yg sederhana, skrg tinggal di istana...

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul, itulah salah satu contoh kesederhanaan bukan penghalang untuk menjadi besar.

      tapi bagaimanapun rumah kita itulah istana bagi keluarga kita :)

      Hapus
  2. ih kok asik ya kayaknya. apalagi bapak yang over-welcoming. kikikik

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe iya, family trip emang selalu asyik.
      Ayo, cun. pas nanti trip keliling Jawa coba mampir Pacitan deh. atau ke Tulungagung sekalian? :)

      Hapus
  3. ngak sempet berkunjung kesini nich .......

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

jalan jalan pertama: Suwarnadwipa

Nggak berasa, udah 7 bulan aja gue tinggal di Padang. Rasanya, udah kayak rumah sendiri, meskipun gue sadar –dan kadang masih suka mengeluh, atas keterbatasan yang ada di sini. Beberapa temen yang gue ceritain tentang kehidupan gue di Padang rata-rata ekspresinya sama,”Serius? Masa nggak ada? Kan padahal ibu kota provinsi ya?”. Padang memang belum semaju Medan atau Palembang sebagai ibukota provinsi. Gue pribadi sih kadang kesusahan nyari item tertentu yang dulu sewaktu di Jakarta gue tinggal ke minimarket atau ke mal yang kayak-kayak semuanya ada. Kalau nggak gitu, buat ngedapetin barang A gue harus ke toko X, buat dapetin barang B gue harus ke toko Y, jadi kayak nyebar ke mana-mana gitu, belum nemu satu tempat yang bener-bener serba ada dengan ragam barangnya yang lengkap. Tapi ini bagus sih sebenernya, jadi kan guenya nggak main ke mal mulu hehe Malah bikin gue jadi banyak bersosialisasi karena harus nanya orang lokal dulu kalau mau ini itu. Secara minim info yang bisa