Langsung ke konten utama

Backpacking Thailand: Pearl of the Andaman Sea

"Good men go to heaven, Bad men go to Patong"
kami adalah pria baik-baik yang ingin mengunjungi keduanya
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1 Maret 2012

Ini pagi pertama saya di Thailand. Pukul enam masih saja gelap layaknya masih pukul lima. Usai menunaikan subuh, saya mulai sibuk mempersiapkan perencanaan untuk perjalanan hari ini bermodal peta dan brosur yang saya peroleh dari bandara kemarin. Sementara Indra yang tadinya khusyu' membaca kitab kecil miliknya, malah tertidur.

Untuk menambah sumber informasi, saya iseng membuka-buka tumpukan buku di bawah meja di balik pintu kamar kami. Selain menemukan peta pariwisata Phuket, ternyata ada beragam buku dari tumpukan itu dari jenis novel The Girl With Dragon Tatto dalam bahasa Inggris sampai... tabloid FHM! Sambil cekikikan sendiri saya membuka halaman demi halaman secara sekilas #eh -duh, ketahuan deh.

Cahaya surya pagi menembus kisi-kisi jendela kamar kami. Geliat kehidupan di lingkungan sekitar pun mulai terasa. Kami pun bergantian untuk mandi dan membereskan barang bawaan kami masing-masing karena setelah ini kami harus check out terlebih dahulu sebelum 'mbolang' seharian di Patong sebelum menutup hari dengan perjalanan panjang kami menuju Bangkok.

Berdua kami menuruni tangga untuk sarapan -salah satu alasan kami memilih 43 Guesthouse ini untuk menginap adalah karena harga sudah termasuk sarapan, lumayan kan menghemat pengeluaran. Semalam si mas gondrong sudah memberitahu kami bahwa aturan main untuk sarapannya adalah self service. Begitu sampai di meja makan, kami malah bingung. Bukan karena banyak pilihan, tapi sebaliknya, kami hanya menemukan satu sisir pisang, 2 bungkus toaster bread lengkap dengan mesin pemanggangnya, dan deretan setoples gula -yang sudah tandas, kopi juga teh serta satu kaleng susu creamer yang juga menyisakan beberapa mili saja -,- Itu ada mbak-mbak yang belakangan saya ketahui pembantu di penginapan itu malah cengar-cengir sambil menikmati sarapannya. Ckckck

Akhirnya saya melahap sebuah pisang sementara Indra memilih untuk menikmati toaster bread yang tidak dipanggang dan hanya menyiramkan tetes-tetes terakhir susu creamer di atasnya.

Usai santap pagi yang 'sederhana', saya menghampiri si mbak yang kini lagi asyik mencuci piring tak jauh dari meja makan kami. Saya menghampirinya berniat untuk memohon izin karena kami hendak check out.

"Excuse me, we will check out now but can we leave our baggage here then we'll pick them up in the afternoon?" Susah payah saya merangkai kata dalam bahasa Inggris, namun air mukanya malah berubah seakan saya hendak memakannya.
Kemudian dia menjawab dalam bahasa Thailand yang kalau menurut saya dia bilang "Aduh mas, saya nggak bisa ngomong bahasa Inggris, saya nggak ngerti".
Begonya lagi saya malah menimpalinya dengan pertanyaan yang lain "So where's the owner? We wanna check out now".
"Lah mas, saya nggak mudeng ini mas", imbuhnya.
"Check out.. err... The Owner err...?" Bumi seakan berotasi terlalu cepat hingga saya merasa berputar-putar.
"Aha.. bentar-bentar..." Dia melenggang ke arah sofa depan TV di ruang tengah lalu membangunkan seorang mas-mas yang sedang tidur di sana. #lost-in-translation (lagi)

Akhirnya, saya menyampaikan maksud saya. Ternyata kami diperbolehkan untuk menitipkan backpack kami dan mengambilnya kembali nanti siang usai berjalan-jalan meskipun kami telah check out. Yeay!

Setelah menyerahkan kembali kunci kamar kami dan berpamitan pada mas yang tadi kami pun melangkahkan kaki menuju jalan Debuk yang berada satu blok di belakang penginapan kami. Saya baru menyadari keberadaan sebuah tempat peribadatan penganut Buddha, yang biasa disebut wat/temple, saat mengamati peta pariwisata di antara tumpukan buku dalam kamar kami yang saya temukan tadi pagi. Benar saja begitu membuka jendela kamar terlihat atap khas bangunan wat yang menjulang. Pagi itu suasana Phuket Old Town masih terlihat lengang.


Wat Puttamongkon, adalah wat pertama yang kami kunjungi setelah berhasil menginjakkan kaki di negara yang sebagian besar penduduknya beragama Buddha ini. "Jepret..Jepret..Jepret!" Kami bergantian mengabadikan keindahan desain dan ornamen bangunan tersebut. Maklum, excitement for the first experience.
*Memasuki wat/temple seperti ini haruslah berpakaian yang sopan dan tertutup. Namun kami sudah cukup puas berfoto di depan bangunannya karena saat itu memang tujuan utama kami adalah mengunjungi pantai Patong, jadilah kami memakai pakaian santai , kaos dan celana pendek.

gerbang depan Wat Puttamongkon







Puas melihat-lihat dan berkeliling di sekitar pekarangannya yang luas, kami pun kembali berjalan kaki menyusuri jalanan kota tua itu menuju ke arah jalan Ranong tempat ngetem bus-bus yang menuju ke kawasan pantai-pantai indah di sekitaran Phuket seperti pantai Patong, Surin, Kamala, Kata, Karon juga Kathu. Kami cukup menikmati perjalanan kami pagi itu. Bertemu segerombolan anak sekolahan, melintasi rumah-rumah penduduk sekitar yang baru membuka tokonya (ingat kan, kebanyakan bangunan di kawasan kota tua adalah berupa ruko-ruko), dan tanpa disangka kami menemukan Phuket Thaihua Museum. Hm, tapi kami hanya sampai di pelatarannya saja tidak sampai masuk ke dalam mengingat matahari yang kian beranjak tinggi. (Yah, nanggung woy! | Nggak apa-apa, biar ada alasan buat mengunjungi Phuket Old Town lagi hihi #gaya)




Begitu sampai di Ranong kami mulai memincingkan mata untuk mencari bus tujuan Patong. Jadi, jalanan di depan sebuah pasar besar ini, semacam terminal bayangan. Suasananya cukup crowded -namanya juga pasar. Tinggal cari saja jajaran bus yang lebih mirip seperti truk yang dimodifikasi di sebelah kiri pasar. Beruntung kami waktu itu karena bus ke arah Patong telah siap untuk diberangkatkan. Awalnya sih saya pribadi tidak percaya dengan cerita di buku Om Ariy yang menyebutkan kalau kendaraan ini muat diisi sampai 50 penumpang. Namun ketika bus mulai berjalan dan sesekali berhenti untuk menaikturunkan penumpang (tapi lebih banyak yang naik sih daripada yang turun), semakin seringlah penumpang diminta untuk geser sedikit geser sedikit, sampai akhirnya penuh sesaklah itu kendaraan -sekarang saya percaya. Yang bikin dag-dig-dug itu,  ada mbak-mbak dengan dress minimalis warna hitam turut berdesakan duduk tepat didepan saya. Karena sempitnya, lutut kami bertemu. Duh! Bukan gimana-gimananya, takutnya si mbak ini itu adalah satu dari sekian banyak wanita jejadian yang sangat terkenal di Thailand. Soalnya kalau dari wajah sih, kurang meyakinkan kewanitaannya, postur tubuhnya juga. Tapi dari suara nggak gitu nge-bass. Ah sudahlah, saya pun mengalihkan pandangan ke luar. Oiya, dari Ranong menuju Patong kita akan dipungut biaya perjalanan sebesar 25 Baht/penumpang.

angkutan umum dari Ranong ke Patong

Dari kawasan kota bus melaju ke arah barat dan semakin menjauhi pusat kota, maka kembali disuguhi pemandangan hutan dan pemukiman yang tak begitu padat. Semakin jauh lagi kita akan dihadapkan pada jalanan pegunungan yang menanjak dan berkelok. Tanjakan paling unyu adalah tanjakan pertama dengan kemiringan hampir membentuk sudut 60 derajat yang cukup membuat bus kami yang padat penumpang menggeram kala harus 'mendaki' perlahan. Selepas rute pegunungan nan berliku dan mulai sering injak rem karena jalan yang mulai banyak turunan, sudah terlihat pesisir Patong dengan deburan ombaknya yang mendayu-dayu. Semakin jauh memasuki kawasan Patong, rasanya saya seperti jalan-jalan di Legian, Kuta - Bali. Denyut kehidupan jauh lebih terasa dibanding dengan Phuket Town yang tenang. And..here we'are, Patong!



Begitu turun dari bus sebenarnya saya bingung mengekspresikan isi hati saya. Antara bahagia akhirnya bisa menjejakkan kaki di pasir putih salah satu pantai yang terkenal di kalangan wisatawan dunia, tapi juga sedikit kecewa karena... ya, ibarat Indonesia memang benar pantai ini layaknya pantai Kuta di Bali. Buktinya, banyak bule yang berjemur di sepanjang garis pantai. Hanya saja, Kuta jauh lebih indah menurut saya. Ombaknya cemen, terlalu tenang malah. Huff...


Patong memiliki garis pantai yang cukup panjang dengan hamparan pasir putihnya. Pemandangan hijau pegunungan di sisi utara dan selatan tersambung dengan horizon pertemuan langit dengan laut Andaman menjadi salah satu nilai lebih yang ditawarkan. Hembusan angin dan terik matahari tentu perpaduan tropis yang membuat betah para bule berguling-guling di pantai untuk 'menghitamkan kulit' #yakali



Phuket memang surga wisata pantai. Tidak heran bila pulau di bagian selatan Thailand ini mendapat julukan "Pearl of the Andaman Sea". Kalau mungkin Patong belum mampu 'menggoda' saya, mungkin pantai lain seperti yang telah saya sebutkan di atas, memiliki pesona yang jauh lebih indah. Atau Anda mungkin bisa mencoba mengunjungi Phromthep Cape 'di ujung' paling selatan Phuket yang digadang-gadang merupakan tempat terbaik untuk menikmati sunset! -kapan waktu harus disempetin buat ke sini deh hihi

Setelah mencukupkan bermain air sebentar, kami sepakat untuk jalan berkeliling Patong saja. Bermodal sendal jepit dan botol minuman, kami jalan kaki mengelilingi seputaran kotanya Patong yang ternyata cukup luas juga ya... Hosh..hosh... Kami melenggang di atas trotoar sepanjang jalan yang juga sepanjang garis pantai Patong. Di sisi-sisi jalan pastilah berjajar para pedagang yang menawarkan beragam produk dari pernak-pernik beridentitaskan Patong sampai agen-agen perjalanan yang menawarkan paket-paket wisata dan tak ketinggalan mbak-mbak asli maupun jejadian yang berdiri di pinggir jalan menawarkan jasa Thai Massage. Indra pun sempat 'dicolek'. Hiiii... Di samping itu banyak juga dijumpai hotel/resort juga resto yang menawarkan pelayanan sebagaimana itu adalah dijamin bakal menguras dompet! -bahasanya ribet



Huwaaaaaah, jalan udah kaya nggak ada abisnya. Akhirnya, sewaktu melintas di depan Jungceylon, kami melirik bangku kosong di lobby salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Patong ini. Let's break a leg! Sementara waktu istirahat, saya pun mengusulkan pada Indra untuk makan siang di foodcourt mal ini saja. Kan biasanya kalau di tempat makan macam begitu kita bisa menemukan makanan khas Thailand daripada makan di franchise outlet McD atau KFC, yekan..yekan...? *usap hidung pakai jempol

salah satu sudut lobby depan Jungceylon

"Eh itu ada turis Malaysia" Indra memberitahu saya saat sepasang muda-mudi melintas di hadapan kami.
"Lah, gimana lo bisa tahu mereka orang Malaysia?" Dengan polosnya saya bertanya.
"Itu, si mbaknya berkerudung tapi pakai kaos lengan pendek" jawabnya santai.
"Oh... Iya yah, baru nyadar kalau mbaknya ternyata pakai kaos pendek" Lumayan nih nambah ilmu identifikasi manusia dan budayanya.

Iseng-iseng kami mengikuti mereka, siapa tahu mereka masuk ke dalam mencari musholla untuk shalat. Eh pas udah di dalam, malah kami keasyikan sendiri melihat ke sana kemari cuci mata sambil menikmati sejuknya hembusan air conditioner di dalam ruangan itu. Kami kehilangan jejak mereka! #absurd #janganditiru

pusat bazar kerajinan Thailand di lower ground floor Jungceylon



Akhirnya kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu karena sepertinya cacing di perut sudah tak bisa diajak kompromi, udah bukan keroncongan lagi, tapi udah memainkan musik techno yang menghentak-hentak. Kami pun mencari foodcourt yang ada di lower ground. Jadi mekanismenya kita harus menukarkan uang kita ke dalam bentuk kartu deposit yang akan kita gunakan untuk transaksi di 'warung-warung' dalam foodcourt. Adapun sisa deposit ini dapan di-refund atau diuangkan kembali. Mudahnya, kelilinglah dulu melihat-lihat menu dan harganya. Tentukan hendak membeli apa, hitung total biayanyanya, baru tukarkan uang sejumlah biaya tersebut ke kartu deposit. Kami memutuskan untuk membeli Pad Thai. Salah satu makanan khas Thailand, dan insyaAllah halal :)

Awalnya kami hanya menukarkan 100 Baht, tapi ternyata harga satu porsi Pad Thai-nya 100 Baht. Kembalilah saya ke counter penukaran untuk recharge 100 Baht lagi. Dan dengan mudahnya kami menghamburkan 200 Baht untuk 2 porsi Pad Thai sebagai jatah makan siang kami. Sebagai seorang backpacker, saya merasa gagal -,- Parahnya, saya baru menyadari ini semua ketika ibu penjual Pad Thai menggesek kartu deposit kami sesaat setelah kami memesan makanan. Saya pasti dihipnotis (?)

Hey, dude! Nggak perlu cemberut. Itu coba lihat... hm... yummy!


Pad Thai 100 Baht at Jungceylon Foodcourt

Wah, worth it lah ya apa yang sudah kami bayarkan dengan apa yang kami dapatkan. Seporsi Pad Thai jumbo, enak, dan mengenyangkan! *sendawa* Hilanglah rasa bersalah dalam diri saya. Tapi, kalau ditinjau ulang, ini merupakan salah satu penyebab membengkaknya uang jajan kami di Phuket yang nantinya berujung pada resesi ekonomi berdampak galau finansial :(

Sudah kenyang, kembali kami berjalan-jalan di Jungceylon yang memiliki keunikan tersendiri sebagai sebuah pusat perbelanjaan dan ternyata cukup luas juga ya... Oiy, ada hal benar-benar luar biasa dan baru kali ini saya menemukannya, di sini. Jadi, ceritanya kami melintas di depan sebuah meja semacam front desk resepsionis tanpa penjaga. Satu hal yang mencuri perhatian saya adalah sebuah pengumuman kecil di meja itu: "SORRY, NO SHOW TODAY. JOE IS SICK". Masa sebuah acara ditiadakan hanya karena Joe sakit? Dia (Joe) pikir dia siapa? Baru belakangan kami ketahui kalau si Joe ini adalah master pertunjukkannya. Oh, pantaslah... GWS ya Joe, *puk-puk-puk



Kami teringat untuk segera menunaikan shalat, hanya saja sedari tadi kami berkeliling tak ada satu petunjuk pun mengenai keberadaan musholla atau semacamnya. Akhirnya kami bertanya ke meja informasi. Mbaknya sih bilang, "Oh, turun saja ke bawah lurus mentok sampe nemu parkiran belok kiri. Carilah di sana. Tempatnya sih nggak besar. Cuma sebuah ruangan yang kecil, kecil banget malah." NIHIL! Kami tak pernah menemukan tempat itu...

Kamipun memutuskan untuk segera kembali ke tempat pemberhentian bus saat pertama kali kita 'mendarat' di Patong untuk mengejar bus kembali ke Phuket Town. Rupanya lokasi yang hendak kami tuju itu jauh dari Jungceylon. *sigh Petanya nggak tahu deh digambar pakai skala berapa, padahal cuma lurus sama dua kali belokan, kiri atau kanan. Tapi ternyata kaki kami telah melangkah lebih dari 10.000 langkah sehari. Hoho Akhirnya saya pun melewatkan kunjungan ke OTOP yang merupakan pusat wisata belanja kerajinan dan produk asli Thailand.

Sebelum naik bus kami sempatkan membeli minuman untuk menghalau dahaga. Saat sampai di pinggir pantai, bus menuju Phuket Town kala itu tengah berjalan lambat hendak meninggalkan Patong, beruntung (lagi) kami berhasil mengejarnya.

Sekitar pukul 14.30 kami telah kembali berada di Phuket Town. Kami masih resah gelisah karena belum menemukan masjid untuk menunaikan ibadah. Kami berhenti sejenak di depan sebuah peribadatan umat Kristiani tak jauh dari penginapan kami. Kami istirahat sambil googling masjid terdekat di sekitar sini. Setelah mencocokan alamat dengan rute di peta akhirnya kami sepakat untuk menyambangi Masjid Yameay yang menurut sumber dari internet berada di sekitaran Clock Tower Phuket Town. Kami menuju penginapan terlebih dahulu untuk mengambil backpack yang kami titipkan sedari pagi. Tak lupa ucapan terima kasih dan kata pamit kami sampaikan kepada pengelola penginapan.

Begitu keluar penginapan saya mengajak Indra untuk lewat jalan arah On On Hotel, meskipun rutenya menjadi sedikit memutar, karena kemarin kan belum sempat berfoto di sana #norak Perjalanan kami lanjutkan menuju Clock Tower. Begitu sampai sana, kami hilang arah. Meskipun kami mengambil jalan yang salah tapi ketika kami melihat kubah yang berkilauan nun jauh di sana, akhirnya kami mendapat hidayah dan petunjuk-Nya sehingga berhasillah kami mencapai Mosjed Yameay :') Alhamdulillah...

Clock Tower Phuket Town



Sampai di sana belum juga masuk Ashar ternyata. Kami bergantian shalat. Menunaikan Dzuhur dan kemudian menjamak qashar untuk shalat Asharnya. Ketika mengambil wudhu, saya mulai bingunglah, ini kenapa kran airnya rendah banget. Barulah saya paham kalau saya harus berwudhu sambil duduk. Saat whudu inilah saya sempat 'diwawancarai' oleh bapak-bapak alim ulama setempat. Awalnya canggih juga, beliau bisa menebak kalau saya ini orang melayu. Tapi selanjutnya salah! Masa tebakan berikutnya bapaknya mengira saya orang Malaysia. Huffufufu Karena ingin mengejar bus menuju Bangkok, kami pun tak berlama-lama mengistirahatkan badan di masjid ini. Sesaat sebelumadzan Ashar berkumandang kami meninggalkan masjid berjalan kaki menuju terminal Phuket. Di perjalanan kami sempatkan mampir 7-eleven untuk membeli makanan dan minuman sebagai bekal perjalanan kami.

Begitu sampai terminal, kami menuju loket dan langsung disambut heboh sama mbak-mbak, err...tapi kayanya yang ini lebih banyak mencirikan wanita jejadian. Ah sudahlah, ya memang begitu adanya. Dia dengan semangat melayani kami untuk pembelian tiket bus menuju Bangkok. Dari tulisan yang ditempelkan di depan loket, ada dua jenis kelas bus Phuket-Bangkok yang masing-masing bertarif 626 Baht/orang dan 900 sekian Baht-hampir 1000 Baht/orang. Jelaslah kami memilih yang pertama. Bus kami diberangkatkan pukul 18.30 dan kami dipersilahkan untuk menunggu di peron 11.

Kami pun akhirnya duduk menunggu karena memang masih lama menuju waktu keberangkatan. Dari menunggu itu saya memandang ke sekitar. Saya perhatikan, ini kenapa semua orang pegangannya Iphone semua? #gayabanget lah pada. Oiya, kebanyakan bus antar kota antar propinsi di Thailand adalah bus jenis double decker (bus tingkat) yang membedakan ya paling warna sama perusahaan otobusnya hehe Nah, karena kami sempat bingung karena dua bus dengan warna serupa dan nama yang sama (kami menyamakan tulisan keriting di tiket kami dengan tulisan keriting di kaca depan bus) berada di peron 11 dan 12 dengan keberangkatan 18.30. Akhirnya kami bertanya pada petugas busnya dan kemudian kami duduk manis di bangku kami masing-masing menunggu keberangkatan bus kami.

bus doble decker

Ketika bus berjalan ke utara menjauhi kota, saya berperang mati-matian melawan rasa kantuk yang hebat karena saya tak ingin kehilangan momen penting saat bus ini menyeberangi jembatan penghubung Pulau Phuket dengan Thailand, Sarasin Bridge, dan Thep Krasattri Bridge di arah sebaliknya. Pas malam hari di tengah perjalanan, bus istirahat sejenak di semacam rest area. Kirainnya kita bakal dapat makan yang termasuk ke dalam harga tiket layaknya pelayanan perusahaan otobus di Indonesia, tapi ternyata kita disuruh beli sendiri-sendiri -,- Jadilah kami cuma menggunakan toilet dan kemudian kembali ke bus.

Bangkok, we're coming!

PS: kalau ada yang pengen tahu itinerary kita selama dua hari pertama di Phuket, bisa mampir ke blognya Indra. Enjoy then :)

Komentar

  1. That's pity! I don't understand what you wrote.
    Anyway, that Pad Thai costs 100 Baht? It's quite expensive for Thai people.
    Does it taste good?

    Tan...

    BalasHapus
  2. Khor tode na krab, i didn't write my story bilingually.
    dou you wanna know what i wrote? i'll tell you then.
    Chai krab! that's expensive enough. i almost regret it but when i taste it, hm... aroi mak... :D
    so it's worth it to spend that much money because the quality's good :)
    Anyway, khoop khun mak na P'Tan for visiting my site,

    BalasHapus
  3. whoaa.... sejarahnya bisa jadi backpacker ke Luar Negeri gimana kk?

    mungkin bisa di-share tips-tips buat bisa mencicipi jalan-jalan ke luar negeri dengan budget ala mahasiswa kampus kedinasan seperti kita-kita ini kk (y)

    trims n.n)b

    BalasHapus
  4. Halo Anonim, -boleh kasih nama saja kalau komen tidak biar enak manggilnya :)

    iya, nanti insyaAllah di share kok apa dan bagaimana sejarahnya, hehe
    kalau tips trick ada banyak sih sebenarnya di segala sumber baik internet maupun buku traveling.
    Mungkin kalau tips trick dari saya ya bisa dibaca dari postingan saya, terima kasih :)

    BalasHapus
  5. Waaaa Happy *speechless (brlebihan, he)
    That was very exited moment absolutely fo u ^^

    Bisa jd inspirasi jg nih bwt aq, hehe
    anyway thanks y referensinya kemarin bwt ngurus paspor..
    ditunggu "persinggahan2" selanjutnya..

    BalasHapus
  6. ines... terima kasih ya beneran disempetin mampir dan ninggalin komen, hehe

    iya, amin-amin...
    sukses juga buat tour-nya ines ke negeri singa, hehe

    mampir lagi ya kalau ada postingan baru, hihi...
    thanks loh :D

    BalasHapus
  7. nda.. bikin ngiri ih.. mana oleh2 nya???

    BalasHapus
  8. @kanda aaaaa thanks nda, udah mau mampir & komen XD

    gaperlu ngiri nda, kamu juga pasti bisa kok. yuk, mau ke mana kita? jangan ngajak ke penghulu dulu ya tapi, haha

    lha kan ini kamu juga udah baca judul artikelnya, backpacking... jadi ya lebih ke nggembel nda, bisa pulang aja udah bersyukur banget rasanya. maaf sih gabisa bawain apa-apa, kalau nanti aku jalan lagi terus ada sisa uang, coba cari sesuatu buat kamu deh ya :D

    BalasHapus
  9. waaaa, kkak masih kuliah di Stan atau gimanaa?
    kok bisa jalan-jalan ke luar negeri gitu? lagi liburan yaa?
    #mukairi hahaa

    BalasHapus
  10. Halo Mey, iya nih masih menuntut ilmu, tapi udah masuk semester akhir sih :)

    hehe kalau boleh saya katakan, ini sebenarnya bukan jalan-jalan sih. lebih kepada kenekatan saya dan rasa ingin tahu untuk menemukan juga mengalami hal-hal baru di luar sana, Thailand khususnya. lengkapnya boleh mampir di postingan sebelah: http://escaped-traveler.blogspot.com/2012/03/backpacking-thailand-sawasdee-khrap.html

    hehe,

    let's make your own story of traveling! :D

    BalasHapus
  11. Wah Happy ternyata beneran ke Thailand,kirain cuma bercandaan.Mantab!! Jadi iri jadinya .Bisa dishare dong kira2 costnya habis berapa..hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe iya, Alhamdulillah...
      need not to envy me. you must be able to do, too...
      untuk cost ntar di akhir episode postingan Backpacking Thailand bakal dishare lengkap :)

      *padahal postingannya masih nyampe hari ketiga di Thailand, cerita masih panjang... aaaa dikejar deadline XD hehe

      thanks nang udah mampir,
      let's travel! ;)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Hutan Kota Tulungagung

"Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kota atau pinggiran kota. Dalam arti yang lebih luas bisa berupa banyak jenis tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling pemukiman. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada perkembangan kota atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota." - Wikipedia

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain